Kamis pagi, penulis mendapat kiriman video dari mantan Dirjen Bimas Hindu, Triguna, berisi ceramahnya mengenai pentingnya seorang anak yang harus terus menerus menderma-baktikan kehidupan kepada orangtuanya.
Sungguh, dalam suasana Lebaran yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, video seorang sahabat ini mengingatkan penulis yang tengah kesulitan menemukan jimatnya berceceran di berbagai kota. Maklum, dewasa ini, bepergian ke berbagai tempat harus berfikir ulang.
Mengapa? Ya, lantaran meski ada kelonggaran berupa new normal dari berlakunya pembatasan sosial bersekala besar (PSBB) sebagai dampak Covid-19, tidak berarti kita mudah untuk bepergian ke berbagai tempat. Terutama keluar dari Jakarta menuju kota-kota di luar Jawa, misalnya.
Nah, terkait dengan video yang dikirim sahabat penulis itu, penulis merasa diingatkan akan jimat-jimat milik penulis yang berada di berbagai kota. Saat lebaran 1441 H ini, sungguh penulis merasa bersalah. Satu sisi ingin mendapati, tetapi pada sisi lain menghadapi kesulitan. Ya, tadi, karena pandemi corona yang menjadi ancaman bagi kehidupan umat manusia.
Kala hari pertama Lebaran berlangsung, penulis merasa bersyukur jimat-jimat yang menjadi kesayangan dapat dijumpai. Karena itu penulis pun tak kuasa untuk mengatakan, ampun pemerintah yang membendung keluar dan masuknya warga mudik seenaknya di tengah pandemi corona. Sebab, dasar alasannya kuat. Sekarang tengah berlangsung darurat kesehatan.
Itulah sebabnya, video kiriman melalui WhatsApp (WA) dari seorang sahabat itu membuat penulis bersedih karena hingga hari keempat Lebaran ini belum juga mendapati jimat-jimatnya di luar kota. Ini erat kaitannya dengan mobiliasasi warga yang dibatasi lantaran Covid-19 itu.
“Sudah, jangan pikirkan jimat-jimat itu?” pinta isteri penulis.
Isteri penulis menyebut, percaya dengan jimat-jimat adalah perbuatan syirik. Penulis maklum. Sebab, jika kita buka Kamus Bahasa Indonesia, syirik (syi·rik) dimaknai sebagai penyekutuan Allah dengan yang lain, misalnya pengakuan kemampuan ilmu daripada kemampuan dan kekuatan Allah, pengabdian selain kepada Allah Taala dengan menyembah patung, tempat keramat, dan kuburan, dan kepercayaan terhadap keampuhan peninggalan nenek moyang yang diyakini akan menentukan dan mempengaruhi jalan kehidupan.
Dalam ajaran Islam, mensyirikkan/men·syi·rik·kan/ berarti menduakan Allah (menganggap Allah lebih dari satu dengan menyembah tempat keramat dan sebagainya); menyekutukan Allah.
Ketika penulis bertandang ke kediaman orangtua, penulis merasa sedih. Sebab, orangtua lelaki telah wafat. Beruntung, ibu kandung masih ada. Tapi, bukan berarti ibu biologis saja yang dikunjungi. Ibu tiri dan mertua pun dapat perlakukan yang sama. Dikunjungi dan dimuliakan.
“Alhamdulillah. Jimat-jimat itu masih dijumpai,” kata penulis ketika dalam perjalanan pulang di dalam mobil pribadi.
Lantaran dari mulut penulis meluncur kata jimat, isteri penulis mengingatkan bahwa percaya dengan jimat adalah perbuatan yang sangat dimurkai Allah.
Dan, soal yang ini, penulis tak mau berdebat. Suasana lebaran harus damai. Suasana harmonis harus dipelihara. Namun isteri tercinta nampaknya diliputi suasana ingin tahu mengapa penulis kadang dalam pembicaraannya menyelipkan kata jimat.
Jimat dimaknainya berupa benda yang digantungkan pada tubuh, kendaraan, atau bangunan dan dianggap memiliki kesaktian untuk dapat melindungi pemiliknya, menangkal penyakit dan tolak bala.
“Ah, cetek amat sih pemahamannya,” pikir penulis.
Kembali kepada video yang dikirim sahabat bernama Prof. Dr. IBG Yudha Triguna, MS. Sehari-hari ia lebih suka dipanggil Triguna. Video yang dikirimnya pagi tadi, sungguh menghentakan hati penulis. Terlebih masih dalam suasana lebaran ini.
Mengapa?
Ya, karena jimat-jimat penulis pada saat lebaran ini tak bisa dijumpai seluruhnya. Terutama di luar kota, nun jauh disana. Jimat-jimat itulah yang selama ini memberi dukungan dalam kehidupan penulis yang pernah singgah di berbagai kota dari ujung timur hingga ujung barat Indonesia.
Jimat-jimat itu ikut “mewarnai” kehidupan penulis.
Bagi penulis, posisi orangtua, guru (agama), sahabat dan rekan seperjuangan adalah jimat yang harus dihormati. Hormatilah orangtua. Sebab, ia merupakan kekuatan potensi doa dan cita-cita.
Orang bijak sering melontarkan kata-kata bahwa Anda tidak ada apa-apanya jika tidak ada Allah. Anak yang berbakti kepada Allah adalah anak yang juga berusaha untuk membuat orangtua menjalani hidup bahagia.
Dan, anak yang membuat orangtua bahagia selalu ingin menjaga keutuhan keluarga bahagia dan sering menerima berkat serta pertolongan dari Allah.
Dato’ Seri Syamsul Arifin, rekan saya, pernah berucap, jangan rendahkan lima manusia: orangtua, ulama, tokoh agama atau guru, penguasa, orang kaya dan anak muda. Sebab, mereka inilah yang akan mengubah keadaan sekarang dan yang akan datang.
Seseorang bisa berkembang segala kemampuan positifnya di tangan orang yang tepat. Sungguh beruntung jika seseorang bisa menemukan orang yang tepat untuk mengembangkan kemampuannya. Orang bijak tahu menghormati siapa yang telah menolongnya sehingga menjadi seseorang seperti saat ini.
Orangtua adalah jimat. Ia bukan seperti benda yang digelantungkan di leher sebagai kalung, namun ia harus dihormati baik secara fisik dan pesan-pesannya diindahkan.
Selamat Idul Fitri
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H