Namun bila dicermati, perubahan dari diri Mamat adalah sikapnya itu. Mamat sering berceloteh seorang diri dengan menyebut dirinya gagal. Gagal dan gagal lagi.
Lantaran tak tahan menanti sang suami buka mulut untuk bicara. Saodah mencari siasat, menggunakan pendekatan seperti dulu ketika Mamat merayu dirinya hingga jadi pacar lalu kini hidup bahagia sebagai suami-isteri.
Didekatinya Mamat yang tengah duduk di kursi tamu. Kemudian Saodah memaksakan duduk di sampingnya. Maka, jadilah sebuah kursi tamu ukuran buatan Jepara itu jadi sempit karena ditempati dua orang.
Mamat terlihat malu-malu. Tapi, pikirnya, karena tak ada orang lain di kediamannya saat itu, cara isterinya untuk bicara dari hati ke hati terasa lebih nyambung.
"Iya, ma!"
Papa ini sekarang tengah menyulam. Siang dan malam banyak berdoa agar hasil sulaman pada akhir Ramadan dapat dipandang indah. Paling tidak, meninggalkan kesan pada diri sendiri bahwa Ramadan sebagai ladang amal telah dikerjakan dengan optimal.
"Itu yang dimaksud menyulam, ma?" ujar Mamat yang disambut anggukan kepala isterinya.
Saodah masih terus menatap mata Mamat. Ia makin serius menikmati celoteh sang suami yang memang terlihat makin relegius. Kala dipandang, Saodah makin menikmati dan membayangkan masa-masa terindah kala tengah pacaran dihalang-halangi orangtua mereka karena keduanya berbeda latarbelakang.
Mamat yang bermata sipit dianggap keturunan China, sementara Saodah berasal dari kalangan terpelajar dan berlatarbelakang pesantren. Namun, dalam perjalanan bahtera rumah tangga, Mamat terlihat lebih relegius dalam kehidupan sehari-hari.
"Iya, sekarang bisa dipahami. Itu maksud pengertian menyulam saat Ramadan yang tak kelihatan kain dan benangnya," sahut Saodah.
"Tapi, mengapa bicara seorang diri dengan menyebut gagal. Gagal dan gagal lagi?" tanya Saodah dengan nada mendesak.