Babe Haikal juga menyempatkan diri mendatangi yayasan yang membagikan nasi anjing kepada warga. Namun Haikal tak berhasil menemui pengurus yayasan.
Andai saja ia dapat menjumpainya, tak terbanyangkan di benak penulis. Bisa jadi pengurus ARK Qahal dilumat habis. Haikal masih tidak percaya dengan pernyataan pengurus yayasan Qahal yang menyebut bahwa anjing merupakan wujud setia.
Menurut dia, anjing itu wujud penjilat kepada yang memberi makan. Dalam semua agama anjing merupakan binatang yang rendah.
Baca juga: Â Anjing, Nasi Anjing, dan Najis Anjing
**
Sungguh penulis merasa bersyukur mendapat informasi melalui media sosial bahwa Babe Haikal turun ke lapangan, ikut menyaksikan penderitaan masyarakat lapisan bawah. Lebih bersyukur lagi di tengah pendemi Covid-19 dan banyaknya karyawan di-PHK jika Babe Haikel ikut menggerakan rekan-rekannya membantu masyarakat miskin.
Boleh dong alumni Universitas Monash, eh salah, alumni Monas Jakarta diimbau untuk turut membantu warga miskin yang saat ini tengah membutuhkan.
Tentu bantuan itu tidak disertai rasa riya. Bukankah ulama sudah tahu dan memberi contoh dan kita pun sepakat bahwa jika bantuan disertai riya, ya hasilnya bagai debu berterbangan. Tegasnya, tidak membuahkan hasil.
Ah, jadi malu. Ucapan ini tak bermaksud untuk menggurui atau berceramah. Seperti menabur garam di lautan luas saja. Eehhhmm.
Nah, jika kita memperhatikan kata demi kata melalui media sosial yang disampaikan Babe terkait dengan anjing yang disebutnya sebagai binatang rendah, wah, di sini jidat penulis jadi mengkerut.
Kalaulah Babe masih belum terima gambar anjing di nasi bungkus sebagai penghinaan, itu dapat dimaklumi. Itu haknya. Apa lagi yang bicara seorang pentolan Betawi dan punya predikat ustaz. Namun harus dipahami bahwa kata anjing yang dipakai dalam pergaulan untuk daerah tertentu tak selalu dapat dipahami sebagai penghinaan.