Meminjam sekelumit kata dari lirik lagu ciptakan mendiang Glenn Fredly yang berjudul Malaikat juga tahu..... kamu juaranya.
Lagu ini sungguh mengesankan. Setidaknya bagi penulis. Pasalnya, di bulan Ramadan ini, terasa relegius. Terselipnya sebutan malaikat dalam lirik itu menginspirasi penulis untuk merenung, melihat diri sendiri dan perilaku orang sekitar.
Pada diri sendiri mencuat pemikiran dalam hati untuk mengajak selalu menjaga perilaku baik. Kata dan perbuatan tentu saja harus selaras, selalu berupaya menjauhkan tingkah laku yang berpotensi dapat melukai orang sekitar.
Kita, semua, tentu saja diwajibkan untuk hormat kepada orangtua, anggota keluarga dan rekan terdekat. Termasuk rekan senior ketika bekerja hingga para guru yang selalu patut dihormati. Dengan cara itu, hidup menjadi berkah. Semua itu, tentu seperti dungkap Glenn, malaikat juga tahu.
Sungguh, jika dicermati saat ini, kita jadi perihatin apabila kita mencermati pernyataan-pernyataan dari orang sekitar yang dulunya jadi panutan, eh sekarang jauh panggang dari api. Kalau dulu ucapannya berisi dan penuh kearifan, eh sekarang tak lagi sejalan.
**
Langgar HAM
Tak bermaksud berpanjang kalam, kita tahu sekarang ini jajaran kesehatan tengah “all out” mencegah perluasan mata rantai Covid-19. Dan, bertepatan dengan Ramadan ini, masih saja ada pihak menyoal kebijakan pemerintah. Dipandanginya, pemerintah dipandangi selalu jelek.
Salah satu yang dipersoalkan adalah kebijakan pemerintah untuk memutus mata rantai Covid-19 melalui larangan mudik.
Kini di tengah umat Muslim sibuk dengan kagiatan Ramadan, eh, tahu-tahu ada yang mempersoalkan dengan menyebut kebijakan itu sebagai tindakan melanggar hak asasi manusia (HAM).
Kok, bisa begitu. Gimana sih duduk soalnya?
Adalah Rafly Harun, mantan Komisaris Utama Pelindo, dengan menyebut keputusan Jokowi yang tertuang dalam Permenhub.
Pendapatnya itu atas dasar UUD 1945 dan Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 27 ayat (2) yang berbunyi setiap warga negara Indonesia berhak meninggalkan dan masuk kembali ke wilayah negara Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Permenhub 25 Tahun 2020 yang terbit pada tanggal 24 April, merupakan pelanggaran atau pembatasan terhadap hak asasi manusia, sebut Refly Harun sebagaimana dikutip Pikiranrakyat-depok.com dari kanal YouTube Refly Harun.
Berbeda dengan pernyataan pakar Hukum Administrasi Negara Universitas Nusa Cendana (Undana), Dr Johanes Tuba Helan, SH Mhum. Katanya, justru tindakan Jokowi itu mendukung HAM. Pemerintah sama sekali tidak melanggar HAM.
Semua itu merupakan bentuk tanggung jawab negara atau pemerintah terhadap keselamatan rakyatnya, ujar Johanes seperti dikutip Antara.
Kita pun sepakat dengan Komnas HAM, semua harus menghormati perbedaan pendapat baik secara lisan dan tulisan. Dan, di masa pendemi Covid-19, jajaran Polri diharapkan tetap memedomani norma HAM dalam bertindak.
Tapi, ya ini penting, jangan sakit hati setelah tidak menjabat lagi lantas mengeluarkan pernyataan merugikan bagi rakyat.
Antara itu kecil, ya?
Tapi, ini sebaliknya. Justru penulis jadi sakit hati dengan pernyataan mantan Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu. Itu gegara ia berseteru dengan guru besar Universitas Airlangga (Unair), Prof Henry Subiakto di media sosial.
Pak Said Didu, melalui ciutannya menyebut Pak Henry sebagai komisaris BUMN kecil.
“Tuduhan anda serius (penghianat). Pak Hendry ini yg dulu salah satu komisaris BUMN kecil ya. Maaf lupa. Yg juga selama ini sebagai PNS tapi jelas memihak saat pilpres. Ngaku ahli komunikasi tapi menuduh dari sumber berita yg salah. Kasihan mahasiswa anda punya dosen tdk kredible,” kata Said Didu.
Sekali lagi, pernyataan Pak Said sungguh menyakitkan. Pasalnya, lebih dari 30 tahun penulis bekerja di BUMN itu. Lalu perusahaan itu seolah perannya dikecilkan, dikerdilkan. Bisa jadi para pejuangnya jika mendengar prihal ini akan kecewa di alam sana.
Melalui tulisan ini penulis tak bermaksud ikut campur perseteruan Pak Said Didu dengan Pak Hendry. Keduanya sama-sama saya hormati. Saya kenal baik dengan Pak Hendry, bergurau dan bercanda pernah dilakukan. Namun hanya tahu sepintas siapa Pak Said Didu kala menjadi pejabat di Kementerian Keuangan.
“Makan apa sih orang ini, pandai sekali?” pertanyaan itu masih melekat kuat dalam ingatan ketika seorang famili yang bekerja di Kementerian Keuangan mengajukan pertanyaan kepada penulis.
Tentu, siapa pun tahu, Pak Hendry itu menjadi komisaris di BUMN (kecil) yang dimaksud Pak Said Didu adalah Lembaga Kantorberita Nasional (LKBN) Antara. Ia memang tidak menyebut secara langsung Antara sebagai BUMN kecil. Tapi, siapa pun tahu bahwa Pak Hendry adalah mantan komisaris BUMN di Perum LKBN Antara.
Antara menjadi BUMN pada era kabinet Indonesia bersatu masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sebelumnya kantor berita ini posisinya “abu-abu”, tidak jelas. Disebut berada di bawah pemerintah, ya enggak juga. Tapi, operasionalnya sejak Presiden RI pertama Ir. Soekarno, Antara selalu mensuport pemerintah tetapi juga tetap berpegang pada prinsip kemerdekaan pers.
Antara itu berdiri pada 13 Desember 1937. Jauh sebelum negeri ini merdeka pada 1945. Memang dari sisi keuangan tak sehebat BUMN lain, seperti Pertamina dan PLN dan lainnya.
Namun jangan lupa pula, kantor berita Antara secara tidak langsung ikut memberi kontribusi besar memajukan negeri ini melalui pemberitaannya.
Nah, asal tahu saja, pejuang-pejuang yang memajukan Antara saat itu sungguh luar biasa. Lihat Adam Malik dan rekan-rekannya. Pertanyaannya, upaya apa yang bapak lakukan untuk memajukan BUMN kecil yang bapak maksud. Nihil.
**
Jangan pelihara sakit hati setelah tidak menjabat, apa lagi menyakiti pihak lain. Kata Glenn Fredly, Malaikat juga tahu..... kamu juaranya ..
Salam berbagi
Sumber bacaan satu dan dua
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H