Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mbak Susy Sebut, Covid-19 Punya Rentetan Lain

6 April 2020   09:30 Diperbarui: 6 April 2020   17:02 1033
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seharian penulis keluyuran ke beberapa ruas jalan ibu kota. Wuih, sungguh kaget bukan kepalang. Suasana jalan raya, termasuk ruas tol Cawang – Grogol, sepi banget. Jika kita nongkrong di pinggir jalan tersebut, dapat dipastikan kita dapat menghitung jumlah mobil yang melintas dengan jari tangan.

Puluhan polisi lalu lintas bergerombol di persimpangan putaran Jalan Semanggi. Entah apa yang dibicarakan. Nampaknya mereka punya tugas khusus, mengencegat mobil pribadi berputar ke arah Jalan Sudirman. Boleh jadi, itu punya kaitan dengan membendung masuknya virus Corona melalui kontak fisik antarorang.

Pada hari Minggu (5/4/2020) kemarin, sungguh suasana lalu lintas di Jakarta seperti pada saat-saat perayaan Idul Fitri. Lalu lintas Jakarta sepi lantaran sebagian warganya hengkang, mudik ke kampung halamannya masing-masing.

Mengendarai mobil terasa tengah melintas di jalan raya luar negeri. Tanpa macet dan ribet. Bisa berkecepatan 120 km per jam. Masih bisa di atas kecepatan itu, tapi ya harus memperhatikan kesehatan mobil itu sendiri seperti kondisi ban dan rem. Boleh ngebut tapi perhitungkan kondisi mobil sendiri. Utamakan keselamatan.

Maksud penulis pada hari itu keluyuran selain ingin merekam kondisi Jakarta, juga ingin mendapat cerita tentang tanggapan beberapa rekan seputar Covid-19. Itu bukan berarti mengabaikan atau tidak mengindahkan anjuran diam di rumah. Tujuannya hanya satu, yaitu ingin menyaksikan apa yang sudah dilakukan warga kota ini dalam memerangi Covid-19.

Terminal kampung rambutan pun sepi. Foto | Dokpri
Terminal kampung rambutan pun sepi. Foto | Dokpri
Syukurlah. Akhirnya penulis mendapati cerita dari beberapa orang, anggota famili yang kebetulan berkompetensi dalam bidang kesehatan. Salah satunya, Mbak Susy, yang punya pengalaman membantu para pasien di rumah sakit.

Mengawali obrolan tentang Covid-19, di hadapan anggoa keluarga, ia mengajak kita, semua, untuk merenungkan dan melihat peristiwa wabah virus yang menggegerkan publik. Bahkan serangan virus tersebut di kemudian hari menyebar ke berbagai negara, sama seperti kondisi sekarang dengan Covid-19.

Munculnya virus sepertinya punya siklus tersendiri. Hehehe... seperti musim banjir saja. Ada banjir di Jakarta disebut banjir lima tahunan dan banjir 10 tahunan. Gitu sih maksudnya.

Nah, kalau virus corona itu masuk siklus tahunankah?

Bisa jadi Covid-19 termasuk pemunculannya masuk pada siklus 100 tahunan. Untuk ini, bisa dilihat dari sejarah wabah di Eropa dan beberapa negara lain.

Memang, dari beberapa catatan sejarah terungkap wabah atau pendemi yang mematikan setiap 100 tahun sekali. Di antaranya wabah Marseille (1720). Wabah ini dikenal dengan penyakit Pes dan The Great Plague of Marseille terjadi pada tahun 1720 di kota Marseille Prancis.

Jumlah korban meninggal dunia akibat wabah yang terjadi di benua Eropa ini mencapai 100.000 orang.  Penularan penyakit Pes melalui lalat yang terinfeksi virus kemudian menularkannya ke manusia.

Lalu pandemi Kolera (1820).Pendemi ini dengan nama Kolera Asiatik yang terjadi untuk pertama kalinya di benua Asia. Lalu, ada lagi flu Spanyol yang terjadi pada 1920. Penyebanya  akibat dari adanya mutasi genetik virus influenza hingga berubah menjadi virus yang sangat berbahaya.

Dan, kini Covid-19 (2020).  Berawal dari virus corona atau Covid-19 yang muncul di kota Wuhan, Hubei, China pada Desember 2019 dan terus menyebar keluar kota hingga ke seluruh dunia.

Hingga Senin (6/4/2020) dari 32 provinsi tercatat 2.273 kasus, 1.911 dirawat, 198 meninggal dan 164 sembuh.

Kasus COVID-19 tersebar di 32 provinsi. Provinsi DKI Jakarta memuat kasus paling banyak, yakni 1.124 kasus positif COVID-19, diikuti Jawa Barat dengan 252 kasus, dan Jawa Timur dengan 188 kasus.

Sebelum Covid-19, ada peristiwa yang tak kalah menghebohkan. Yaitu SARS (SARS-CoV). Badan kesehatan dunia (WHO) mengungkap kemungkinan penyakit ini berkembang dari reservoir hewan seperti kelelawar, lantas menyebar ke hewan lain misalnya kucing atau musang, kemudian bertransmisi ke manusia.

Transmisi SARS-CoV antar manusia meluas.Virus dari penyakit ini menyebar layaknya virus influenza, melewati bersin, batuk, atau kontak langsung. Penyebaran juga cepat, di tahun 2003 epidemi SARS meluas hingga ke 26 negara dengan jumlah terlapor lebih dari 8.000 kasus.

**

Sebelum obrolan melebar lebih jauh, diingatkan bahwa kita harus membedakan mana virus dan mana bakteri yang keduanya sama-sama memiliki daya rusak luar biasa bagi tubuh manusia.

Bedanya, jika bakteri ini mudah dikenali melalui alat pembesar dan mudah dibiakkan hingga dapat dibuatkan obatnya. Sedangkan virus, tak bisa dibiakan. Bisa dilihat melalui dukungan alat pembesar, ya bisa. Tetapi jangan diharap dapat membuat obatnya, apa lagi dapat membeli di pasaran. Sepengetahuan si mbak dan para praktisi kesehatan, hingga kini belum dijumpai obat virus untuk virus A hingga B, misalnya.

Yang ada, ya obat penguat ketahanan tubuh bagi seseorang. Di China sekalipun, hingga kini tak pernah dipopulerkan obat anu adalah untuk membunuh virus Covid-19, misalnya. Kebetulan sekali di negeri tirai bambu, warganya sudah terbiasa mengonsumsi obat tradisional.

Pengobatan tradisional di negeri itu, oleh berbagai kalangan, sudah dikenal sangat maju. Jadi, jika di negeri itu cacing – yang dikeringkan - saja dijadikan obat, ramuan akar-akaran dijadikan obat,  hal itu sudah biasa sehingga diyakini menguatkan tubuh. Virus, katanya sambil bergurau, tidak akan mudah mampir kepada orang yang tubuhnya bagus. Sehat dan punya kekebalan tubuh bagus.

Coba perhatikan, bukankah sekarang yang wafat akibat Covid-19 kebanyakan orang usia lanjut (lansia) 60 tahun ke atas.  Nah, karenanya, ia sepakat dengan para ahli dari Universitas Airlangga Surabaya, yang menganjurkan warga mengonsumsi empon-empon.

Kalau China saja bisa mengatasi virus Corona, mengapa kita yang memiliki sumber daya alam dan ramuan melimpah tidak dimanfaatkan untuk membendung merebaknya Covid-19.

Juga pasar Kramat Jati sepi pembeli. Foto | Dokpri
Juga pasar Kramat Jati sepi pembeli. Foto | Dokpri
**

Hehehe, obrolan Covid-19 tak sampai di situ. Kala kita tertawa,  salah seorang anggota mengingatkan untuk menjauh. Katanya, jaga jarak fisik, ya?

Dalam suasana hangat itu, ya yang ditunggu penulis akhirnya muncul. Yaitu, segelas kopi hanyat. Nyaman diseruput kala udara Jakarta mulai mendung.

Dalam obrolan itu, kita punya pemahaman yang sama berkaitan dengan dampak Covid-19. Bukan hanya seluruh pemangku kepentingan diimbau terus untuk melakukan sosialisasi dampak buruk dari virus tersebut, juga pentingnya semua warga untuk tetap berada di kediaman masing-masing. Itu adalah langkah terbaik untuk memutus mata rantai penyebaran virus Corona.

Namun yang perlu diwaspadai dari dampak itu adalah munculnya rentetan lain, seperti melorotnya penghasilan warga. Kala Jakarta bergeliat dengan aktivitas ekonominya,  siang dan malam warganya berjibaku mencari uang. Tapi, sekarang tidak lagi aktif seperti dulu. Orang menyebutnya Jakarta sedang “sakit”. Karenanya banyak warganya pulang kampung (mudik).

Nah, bagi warga pendatang yang bertahan hidup dan tinggal di kediamannya di Jakarta, tentu mereka ini akan menghadapi kejenuhan. Bagi yang ekonominya “mapan”, ya tak persoalan. Tapi bagi orang yang penghasilannya sehari-hari “hari itu untuk hari itu”, ya harus berupaya menghidupi diri sendiri dengan caranya sendiri pula.

Ini mungkin bisa mendorong seseorang mencari nafkah dengan cara yang haram. Karena itu, bila pemangku kepentingan terkait – dalam hal ini pemerintah setempat – perlu mengucurkan bantuan sosial. Harapannya, kriminalitas sebagai dampak Covid-19 dapat dicegah.

Kita bersyukur sudah banyak dermawan mengucurkan bantuan kepada orang mampu. Ini perlu diapresiasi dan terus disemangati jiwa gotong royong yang sudah terbangun itu.

Apa lagi, seiring dengan itu, harga kebutuhan pokok cenderung naik. Sudah menjadi watak sejak lama, kala mendekati Ramadhan dan Idul Fitri, harga di sejumlah pasar mulai meroket.

Karena itu, kepolisian dan TNI menjadi tulang punggung untuk memberi rasa aman bagi warga.

Hal lain, dan ini yang mungkin harus dipikirkan ke depan. Yaitu, perlunya para tenaga  psikolog atau para ahli kejiwaan untuk sesegera mungkin membuat konsep penanganan bagi orang-orang yang menghadapi depresi sebagai dampak Covid-19.

Jangan anggap sepele soal penyakit kejiwaan bagi seseorang. Mari, bersama, kita perangi Covid-19 sambil bermohon kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Salam berbagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun