Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mungkinkah MUI Keluarkan Fatwa Azan Dilarang?

31 Maret 2020   09:41 Diperbarui: 31 Maret 2020   09:56 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pak Ustaz tengah memberi penjelasan. Foto | Dokpri

Pengajian pada Selasa pagi (31/03/2020) terasa lebih seru dibanding sebelumnya. Mengapa?

Ya, lantaran tadabur Alquran dikaitkan dengan kajian ibadah seperti shalat lima waktu dan aktivitas ibadah lainnya di masjid. Kita tahu bahwa fungsi masjid sejak zaman bahuela hingga kini  masih sebagai tempat pembinaan, pemberian nasihat, dan pengajaran kepada umat Islam, baik yang berbasis ilmu agama maupun ilmu umum.

Kita pun sering mendengar para petinggi negeri mengeluarkan imbauan untuk memakmurkan masjid. Dasarnya adalah "Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapa pun) selain kepada Allah. Maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk" (QS. At-Taubah [9]: 18).

Masih banyak ayat Alquran yang mengajak umat untuk memaksimalkan fungsi masjid.

Menariknya, ketika kajian berlangsung, sang ustaz - yang tak mau disebut jatidirinya itu -- mengangkat prihal larangan shalat Jumat. Yang namanya disebut shalat Jumat, ya tentu diikuti banyak orang. Sekurangnya -- menurut panduan dari para ulama -- agar shalat tersebut sah diperlukan anggota jemaahnya 40 orang.

Jumlah sebanyak itu jika kita mengikuti madzhab Syafiiyah seperti dikemukakan Imam Nawawi. Tegasnya,  tidak sah jumatan kecuali dihadiri 40 lelaki yang telah baligh, berakal, merdeka, menetap di sebuah kampung atau kota yang di sana dilaksanakan jumatan, dan tidak nomaden. (al-Majmu', 4/502).

Namun ada pandangan ulama lain bahwa shalat Jumat baru sah jika diikuti berjumlah 12 orang. Kurang dari itu, shalat Jumat tak sah.   

Lepas dari perbedaan itu, yang jelas,  Jumatan diikuti banyak orang.

Menariknya, pembicaraan menjadi tambah "hangat" lantaran pak ustaz bercerita bahwa baru-baru ini kediamannya didatangi Pak Lurah dan anggota Bintara Pembina Desa (Babinsa) dan anggota kepolisian setempat.

Kedatangan aparat pelindung rakyat tersebut sebagai ajang silaturahim. Tentu, tak sekedar itu. Substansinya ialah mendiskusikan tentang shalat Jumat. Pekan lalu, penyelenggaraan shalat tersebut tetap berlangsung di masjid. Tidak seperti Istiqlal, masjid negara.

Sepertinya pak ustaz "ditegur" lantaran tak mengindahkan imbauan pemerintah agar shalat Jumat untuk sementara ditiadakan. Pasalnya, kita maklum, kini di semua negara tengah terjangkit virus corona, termasuk Indonesia.

Karenanya, sangat logis muncul larangan sementara dilaksanakannya shalat Jumat di masjid. Larangan tersebut sejatinya merupakan upaya mencegah penyebaran Covid-19. Walau dilarang, realitasnya memang sejumlah kecil Umat Islam tetap menunaikan ibadah shalat Jumat di masjid.

Nah, agar Covid-19 tidak semakin "merajalela" dan memakan korban, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan penanganan. Yaitu, pembatasan sosial berskala besar dengan kekarantinaan kesehatan.

Apabila keadaan sangat memburuk, maka dapat menuju darurat sipil.

**

Diskusi jadi serius. Larangan pak lurah dan Babinsa untuk meniadakan shalat berjamaah di masjid tidak disertai solusi. Boleh menyelenggarakan shalat berjamaah, tetapi pihak manajemen masjid harus menyiapkan peralatan pendeteksi suhu badan. Belakangan ini alat tersebut dikenal dengan sebutan termometer tembak seperti yang dipergunakan di sejumlah perkantoran dan pasar swalayan.

Sayogianya, dengan memahami hebatnya daya rusak Covid-19 itu, semua pihak dapat mematuhi larangan yang dikeluarkan pemerintah. Jika pemerintah tak mengambil tindakan, itu sama saja negara melakukan pelanggaran hak asasi manusia.

Sayangnya, masjid kecil dan berada di kampung pinggiran Jakarta ini tak cukup biaya membeli peralatan termometer tembak. Lalu, kalau begitu, dimana petugas kesehatan.

Mengeluarkan biaya untuk membeli cairan disinfektan saja sudah terasa "terengah-engah" lantaran kotak amal isinya tidak selalu menggembirakan.

Solusi terbaik adalah larangan shalat di masjid sebaiknya dilakukan langsung pihak kelurahan. Misalnya membuat spanduk dan pengumuman lainnya. Termasuk pemeriksaan deteksi dini suhu warga di areal masjid. Bukan seluruh persoalan keumatan dan kesehatan warga dibebankan kepada pengurus masjid.

Lagi pula, warga belum paham betul tentang ancaman virus Corona. Informasi yang diterima dirasakan masih bertolak belakang. Dulu, petinggi negeri sering mengimbau warga untuk memakmurkan masjid. Kok, sekarang begini?

Bila memang shalat berjamaah benar-benar dilarang, patutnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) harus punya nyali, yaitu berani mengeluarkan fatwa tentang larangan shalat di masjid untuk sementara dengan alasan seperti tadi.

Selama azan terus berkumandang, ya tetap saja umat akan datang ke masjid. Bukankah azan itu merupakan panggilan ibadah bagi umat Islam untuk menunaikan salat fardu. Azan dikumandangkan oleh seorang muazin dari mesjid setiap memasuki waktu lima waktu salat.  

Mungkinkah MUI mengeluarkan fatwa larangan azan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun