Karenanya, sangat logis muncul larangan sementara dilaksanakannya shalat Jumat di masjid. Larangan tersebut sejatinya merupakan upaya mencegah penyebaran Covid-19. Walau dilarang, realitasnya memang sejumlah kecil Umat Islam tetap menunaikan ibadah shalat Jumat di masjid.
Nah, agar Covid-19 tidak semakin "merajalela" dan memakan korban, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan penanganan. Yaitu, pembatasan sosial berskala besar dengan kekarantinaan kesehatan.
Apabila keadaan sangat memburuk, maka dapat menuju darurat sipil.
**
Diskusi jadi serius. Larangan pak lurah dan Babinsa untuk meniadakan shalat berjamaah di masjid tidak disertai solusi. Boleh menyelenggarakan shalat berjamaah, tetapi pihak manajemen masjid harus menyiapkan peralatan pendeteksi suhu badan. Belakangan ini alat tersebut dikenal dengan sebutan termometer tembak seperti yang dipergunakan di sejumlah perkantoran dan pasar swalayan.
Sayogianya, dengan memahami hebatnya daya rusak Covid-19 itu, semua pihak dapat mematuhi larangan yang dikeluarkan pemerintah. Jika pemerintah tak mengambil tindakan, itu sama saja negara melakukan pelanggaran hak asasi manusia.
Sayangnya, masjid kecil dan berada di kampung pinggiran Jakarta ini tak cukup biaya membeli peralatan termometer tembak. Lalu, kalau begitu, dimana petugas kesehatan.
Mengeluarkan biaya untuk membeli cairan disinfektan saja sudah terasa "terengah-engah" lantaran kotak amal isinya tidak selalu menggembirakan.
Solusi terbaik adalah larangan shalat di masjid sebaiknya dilakukan langsung pihak kelurahan. Misalnya membuat spanduk dan pengumuman lainnya. Termasuk pemeriksaan deteksi dini suhu warga di areal masjid. Bukan seluruh persoalan keumatan dan kesehatan warga dibebankan kepada pengurus masjid.
Lagi pula, warga belum paham betul tentang ancaman virus Corona. Informasi yang diterima dirasakan masih bertolak belakang. Dulu, petinggi negeri sering mengimbau warga untuk memakmurkan masjid. Kok, sekarang begini?
Bila memang shalat berjamaah benar-benar dilarang, patutnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) harus punya nyali, yaitu berani mengeluarkan fatwa tentang larangan shalat di masjid untuk sementara dengan alasan seperti tadi.