Setidaknya pemilik WO punya Akta Notaris, Tanda Daftar Perusahaan atau TDP ke Kementerian Perindustrian dan Perdagangan, Nomor Pokok Wajib Pajak atau NPWP, Surat izin Usaha Perdagangan atau SIUP.Â
Jika sekalian membuat menu atau membuka usaha catering, harus ada izin dari Dinas Kesehatan, Pembuatan Surat Keterangan Domisili ke kelurahan dan Kecamatan setempat.
Ini baru sekelumit data yang harus diketahui para orang tua calon pengantin dan pasangan pengantin. Tapi itu saja tentu tidak cukup, harus diketahui pula pengalaman WO tersebut menangani event pernikahan, sejak kapan dan adakah event pernikahan terbesar ditangani.
Ia harus memiliki kantor. Jika ia punya mitra kerja dengan perusahaan katering dan perias pengantin, harus juga dicek, bagaimana dengan pakaian pesta yang tersedia.Â
Lalu perlu diketahui pula, siapa saja yang menjadi rekan kerjanya. Tim penghias pengantin, fotografer dan video. Termasuk apakah ia menjadi mitra kerja dengan pemilik gedung pesta.
Ada hal menarik. Biasanya, pemilik gedung yang dijadikan tempat pesta pernikahan sudah memiliki mitra kerja dengan perusahaan katering. Bisa jadi, pemilik atau pengelola gedung sudah punya mitra kerja dengan perusahaan katering.Â
Biasanya pemilik gedung menginformasikan bahwa bila mendatangkan perusahaan katering dari luar, dibolehkan asal bersedia dikenakan tambahan biaya yang sudah ditetapkan.
Karena itu, karena penanganan event pernikahan itu melibatkan banyak orang dari kedua keluarga, maka perlu dibentuk panitia kecil. Lantas WO dilibatkan. Pembagian peran, tugas-tugas, ditentukan dan dituangkan dalam sebuah konsep.Â
Sayangnya, WO ketika rapat terlalu dominan mengambil peran sehingga orang lain dianggapnya -maaf meminjam kata Rocky Gerung-Â orang dungu.
**Â
Ini yang sering dilupakan pengelola WO dalam mempersiapkan prosesi akan nikah dan resepsi pernikahan. Ini terjadi lantaran ada rasa keakuan berlebihan sehingga hal sepele yang seharusnya menjadi perhatian utama malah terabaikan.