Hehehe, maka jadilah kementerian yang mengurusi agama-agama itu dinilai tak becus urus pegawainya dalam menerapkan kewajiban ajaran agama dengan baik.
Tapi, itu dulu. Kini sudah berubah. Semua sudah dimaafkan, tetapi untuk melupakannya ya sulit. Itu adalah bagian dari sejarah. Sekarang, jika tak kenekan jilbab yang bersangkutan malu sendiri. Bahkan dipertanyakan.
Sekarang untuk menjadi pegawai di Kemenag pun, berebutan. Warga harus bersaing sesuai dengan ketentuan. Nepotisme atau pun melalui koneksi orang dalam tak bisa lagi meski tenaga honor masih banyak dan tak kunjung juga diangkat. Prihatin lantaran jumlahnya cukup banyak.
Kesadaran mengenakan jilbab bagi seorang Muslimah di Kemenag sungguh memggembirakan. Para orang tua, yang dulu antijilbab, kini hanya tinggal menyaksikan di kursi roda (di kediamannya) lantaran penyakit tuanya. Meski begitu, jasanya tak bisa dilupakan untuk memajukan kementerian itu.
**
Diskusi di pengajian Sabtu pagi (25/1/2020) kali ini menjadi hangat. Pak ustaz mengapresiasi kemajuan umat Muslim yang semakin sadar akan pentingnya kewajiban mengenakan jilbab.
Ia pun menambahkan kisah lalunya. Dulu, para ibu pengajian, karena kesulitan mendapatkan kerudung yang memadai untuk menutup kepala, banyak diantaranya mengenakan kain sarung suaminya sebagai pengganti jilbab.
Di Jakarta Timur, seperti Cipinang Muara, dulu para ibu mengengenakan kain sarung sebagai tambahan kerudung untuk menutupi kepalanya ketika bepergian.
"Itu bagus sekali. Sekarang, zaman semakin maju, industri pakaian baju muslim maju pesat. Pakai jilbab tentu tak lagi mengalami kesulitan," ungkapnya.
Anjuran mengenakan jilbab banyak disosialisasikan para ustaz (ustazah) di berbagai kesempatan. Elite politik menganggap hal itu sebagai hak asasi yang tak perlu lagi dilarang.
Lalu, ia mengaku prihatin. Kok, beraninya Nyai Nuriyah menyebut mengenakan jilbab bukan menjadi kewajiban bagi seorang muslimah.