Sudah menjadi sunatullah, hujan dapat mendorong manusia makin pandai menata kata. Kata bermuatan emosional, kata bermuatan rasa sedih dan gembira, kata bermuatan romantis dan cinta.
Dan, ada pula manusia pandai memaknai hujan dengan rasa syukur kepada Sang Maha Kasih dan Sayang dengan penataan kata-kata yang agung.
Meminjam kata 'sunatullah' yang belakangan ini populer lantaran diangkat Gubernur DKI Jakarta Anies Baswean, hujan juga bisa melahirkan perdebatan, perselisihan paham lantaran para petinggi negeri berbeda memaknai apa yang dikerjakan sebagai tindakan antisipasi misibah akibat hujan datang setiap tahun.
Musim hujan memang selalu mendorong mansia pandai menata kata. Muatan yang tertata dalam kalimat bisa beragam. Bisa berupa umpatan, rasa kebencian dan penyesalan lantaran para pemimpinnya berhianat tak amanat sebagaimana kala mereka berjanji pada kampanye.
Tapi, kata seorang rekan dalam obrolan warung kopi dalam suasana hujan rintik di kawasan Jakarta Timur, kala musim hujan dapat mendorong manusia pandai mengungkap dan menata kata penuh rasa kagum. Manisnya untaian kata dalam kalimat terdengar demikian indah.
Persis, seperti kita bica dalam sejarah jazirah Arab. Kata yang ditata penyair membuat warga Mekkah terperangah. Puisi paling indah lalu dituliskan dalam bentuk spanduk, kemudian dibentangkan di Ka'bah supaya seluruh anggota warga memujinya. Masyarakat jahiliyah memang pandai memainkan kata sehingga kala Alquran turun pun ingin ditandinginya dengan puisi yang mereka buat.
Hasilnya apa?
Ya nggak level. Firman Allah mau dilawannya. Siapa elu!
Alquran yang pada zaman dulu oleh musuh-musuh Rasulullah Muhammad Saw dinilainya puisi-puisi berisi kebohongan. Terutama dari kalangan para warga Mekkah yang membenci Nabi Saw.
Kini, Kadal Gurun bin Abu Jahal tengah tiarap dalam musim hujan di Jakarta. Mungkin kedinginan karena kediamannya ikut kebanjiran. Tak ada tanda selalu hadir kala musibah datang sebagaimana dikampanyekan. Menurut rekan penulis sambil nyeruput kopi pahitnya itu, jangankan memberi pertolongan kepada warga tertimpa musibah kebajiran, batang hidungnya saja tak nampak.
Kita merasa sakit hati, tentunya. Kala musibah datang, permainan kata manis terus dimainkan. Bahkan kalimatnya jauh dari kejujuran. Ia lupa bahwa hal itu sama dengan menyimpan bangkai di hadapannya sendiri. Suatu saat, baunya akan menyebar ke seluruh pelosok ruang. Bau itu sudah dirasakan sedikit demi sedikit bagai orang main kartu yang dipirit. Kita tinggal menanti karena hal itu menyangkut soal waktu saja.
**
Penulis bukanlah seorang ahli meteorologi yang pandai memprediksi akan datangnya hujan. Namun pengalaman telah menuntun kita berupa ilmu pengetahuan tentang ciri-ciri fisika dan kimia atmosfer (untuk meramalkan keadaan cuaca).
Dalam perspektif Islam, Surah Fatir/35:9 ditegaskan, "Dan Allah-lah yang mengirimkan angin; lalu (angin itu) menggerakkan awan, maka Kami arahkan awan itu ke suatu negeri yang mati (tandus) lalu dengan hujan itu Kami hidupkan bumi setelah mati (kering)". Seperti itulah kebangkitan itu.
Penulis tak menguraikan ayat tersebut secara panjang lebar. Namun yang menarik adalah pernyataan para ahli yang menyebut bahwa ketika wilayah Pasifik Barat lebih hangat dari Pasifik Timur akan tejadi La Nina yang menyebabkan awan dari Pasifik berkumpul di Indonesia. Dampaknya, musim hujan di Tanah Air akan semakin panjang.
Awal 2009 kita mengalami La Nina lemah sehingga hujan masih mengguyur sampai April-Mei. Akibat pemanasan global, frekuensi kejadian El-Nino dan La Nina semakin cepat. Dulu rata-rata kejadiannya setiap 5 -- 7 tahun, sekarang kejadiannya antara 3 -- 4 tahun.
Pada 1990 para peneliti menemukan fenimena baru yang juga berpengaruh pada variabelitasiklim Indonesia. Suhu muka laut di lautan Hindia ikut berpengaruh yang dikenal sebagai moda dipol. Mirip dengan La Nina dan El Nino.
Kita juga sering mendapat kabar bahwa petani terkecoh dikiranya datang musim hujan. Nyatanya, masih kemarau. Dampaknya, ya tentu hasil tanamannya gagal.
Beranjak dari hal itu, pertanyaannya, apa yang patut kita lakukan?
Kita harus sadar bahwa faktor alam hanya bisa kita waspadai agar tak ada korban akibat bencana yang ditimbulkan. Di sini, faktor antropoganis dari perilaku manusia harus diperbaiki agar tidak muncul potensi bencana lebih besar.
Memperbaiki daya dukung lingkungan adalah upaya mutlak yang harus dilakukan saat ini juga, antara lain harus memperbaiki resapan air, saluran air dan memperbanyak ruang terbuka hijau. Termasuk di dalamnya menata bantaran sungai.
Banjir selalu terjadi setiap tahun kala hujan datang di wilayah perkotaan seperti Jakarta. Banyak warga kota menjadi susah dan menderita. Kita memang sering menyalahkan pihak lain tanpa menyadari bahwa ia sering membuang sampah sembarangan yang ikut menyumbat aliran sungai. Lebih parahnya, pemimpin tak mau menerima keritik dan ngeles memberi alasan bagai seorang guru bahasa pandai menata kata.
Kajian perubahan suhu di Jakarta menunjukkan dalam 100 tajun (1901 -- 2002), suhu cenderung terus naik. Pada awal 1900 suhu rata-rata di Jakarta sekitar 26 derajat, pada awal 2000 mencapai sekitar 28 derajat.
Tapi, apa antisipasinya dari pihak otoritas menghadapi banjir? Nihil!
**
Kata rekan ngopi penulis, cuaca secara keilmuan adalah sekumpulan fenomena yang terjadi pada tempat dan waktu tertentu. Dengan gaya seperti seorang ahli ia menyebut tempat terjadinya cuaca di bumi adalah permukaan bumi atau pada lapisan atmosfer terendah. Lebih tepatnya, kata dia, pada lapisan tropofer di bawah stratosfer.
Wah, jadi binggung penulis menyimak arah pembicaraannya. Gini aja deh, lanjutnya, untuk mudah memahaminya bahwa cuaca biasanya berkaitan dengan keadaan harian suhu dan presipitasi (hujan atau salju). Sedangkan iklim adalah keadaan rata-rata cuaca untuk jangka waktu yang panjang.
Ia melanjutkan penjelasannya. Iklim dan cuaca merupakan kondisi lingkungan sekitar suatu tempat, menyangkut suasaana yang dapat mempengaruhi aktivitas makhluk hidup, termasuk ya manusia di dalamnya.
Menariknya, dalam beberapa ayat Alquran dilukiskan bahwa cuaca dapat mempengaruhi suasana hati manusia, berupa harapan dan kecemasan. Â
Jadi, sungguh tepat penjelasan rekan penulis itu. Â Perubahan cuaca, terutama kala musim penghujan datang yang membawa musibah banjir itu, telah menggerakan hati manusia pandai menata kata-kata dalam mengelola kota.
Untuk mengeles dari kritik ketidak-becusan bekerja, maka disusunlah kata-kata penuh makna. Atas nama sunatullah digaungkan dan diangkat bahwa air hujan datang agar menyerap ke bumi bukan untuk lari ke laut. Atas nama sunatullah pula, banjir itu datang karena karunia-Nya.
Maka, dengan alasan sunatullah pula rakyat dipaksa untuk memahami bahwa musibah merupakan bagian dari fenomena alam yang harus diterima. Alasannya tadi, ya karena sunatullah.
Ini sungguh tidak menggembirakan. Sebab, sejatinya manusia hidup untuk mengabdi kepada-Nya. Dalam rangka pengabdian, manusia dibebani kewajiban  mengendalikan dan mengarahkan faktor-faktor yang mempengaruhi kehidupannya, termasuk meminimalisir terjadinya banjir, guna mencapai kebahagian hakiki yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat.
Jika itu terus digaungkan, yaitu mengeles dengan kata-kata itu sama halnya dengan para penyair di zaman jahiliyah. Padahal peradaban manusia sudah demikian maju, bukan lagi zaman kegelapan dan kebodohan.
Salam berbagi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H