Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengapa Jangan Jadikan Nikah sebagai Resolusi 2020?

20 Desember 2019   11:41 Diperbarui: 20 Desember 2019   19:18 553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi, usai nikah, Tiwi dan Raqy pamer buku nikah. Foto | dokpri

Ini mumpung makin dekat pergantian tahun. Sungguh wajar bahwa pada setiap manusia pada momen itu melakukan introspeksi apa yang telah dikerjakan. Hal itu dilakukan agar hidup makin bermakna, bermanfaat dan memperoleh berkah berupa kesejahteraan.

Lantas, selama setahun yang dijalaninya dievaluasi. Dalam diri ditanya, dimana titik kelemahan yang menyebabkan pada tahun lalu gagal dalam rencana yang dijalankan. Kemudian dipertanyakan bagaimana menyikapinya agar memperoleh keberhasilan pada tahun menadatang.

Ada seseorang yang melakukan itu semua seorang diri, tetapi tidak jarang melakukannya pada momen itu secara bersama-sama. Mengapa harus bersama-sama? Sebab, tidak semua orang mampu melihat titik kelemahan pada dirinya sendiri.

Dan, pada momentum itu pula mereka berdiskusi.  Dari hasil diskusi, kadang, di antara anggota kelompok menemui inspirasi, gagasan dan ide untuk perbaikan dirinya ke depan. Lebih istimewanya lagi, pada momen itu mereka memanjatan doa agar tahun depan memperoleh keberkahan.

Biasanya, seusai melakukan instrospeksi dan evaluasi, setiap individu menenamkan pada dirinya sejumlah impian pada tahun mendatang. 

Seperti seorang bos, lalu ia menyusun program. Impian-impian berupa gagasan itu dijadikan rencana kerja dan tekad yang (wajib) diharapkan dapat diwujudkan pada tahun berikutnya.

Impian itu, menurut kalangan milenial, dikenal sebagai resolusi. Awas, ini bukan revolusi yang maknanya perubahan sosial atau kebudayaan secara cepat. Jadi, beda loh antara resolusi dan revolusi.

Biasanya, jelang pergantian tahun kata resolusi "naik daun". Makin banyak digunakan untuk mengungkap rencana tahun depan. Ujungnya, ya beken. Tentu, dalam konteks ini, diharapkan dapat membuahkan keberuntungan.

**

"Kapan nikah?"

Pertanyaan itulah yang kerap mengemuka kala pertemuan anggota keluarga liburan tahun baru. Pertanyaan itu banyak diarahkan kepada orang tua yang memiliki gadis atau jejaka tetapi belum terlihat gelagat berniat nikah.

Ilustrasi, usai nikah, Tiwi dan Raqy pamer buku nikah. Foto | dokpri
Ilustrasi, usai nikah, Tiwi dan Raqy pamer buku nikah. Foto | dokpri
Pertanyaan yang dilontarkan anggota keluarga pada momentum liburan tahun baru itu mengandung makna bahwa mereka merasa prihatin kala jejaka atau sang gadis tak punya niat untuk menikah. 

Mungkin niat nikah ada tetapi belum merasa memiliki kecocokan. Masih mencari dan saling menjajaki. Kalaupun sudah ada di antaranya sudah mengikat janji berupa tunangan tetapi putus lantaran berbagai sebab.

Bukan hanya sang gadis yang punya perasaan tertekan. Pria pun punya perasaan serupa karena selalu didera dengan pertanyaan "kapan nikah?" ketika berlangsung pertemuan antaranggota keluarga. Bukan hanya pada momen liburan tahun baru, pada hari besar lainnya pun saat anggota keluarga berkumpul, lagi-lagi pertanyaan itu diangkat.

"Huuu menjengkelkan!" ungkap seorang gadis yang usianya mendekati kepala lima.

Sejatinya nikah atau tidak bagi seseorang itu adalah pilihan. Ada orang yang tak mau menikah atau menunda pernikahan tentu disertai alasan masing-masing. Anehnya, kok orang lain -- termasuk orangtua -- jadi ikut repot. Bukankah keputusan nikah atau tidak  itu menyangkut hak dasar seseorang.

Sudah menjadi sunatullah, Tuhan Yang Maha Esa menciptakan pria dan wanita dengan fisik, karakter dan sifat yang berbeda. Kendati begitu, perbedaan tersebut justru membuat kedua mahluk tersebut saling membutuhkan satu sama lain. Dan, dengan kebesarannya pula, Allah menjadikan keduanya berpasangan.

Dalam prespektif Islam, pria dan wanita disyariatkan untuk menikah. Allah memerintahkan kaum muslimin menikahkan orang-orang yang belum menikah, termasuk kaum fakir dan melarang untuk mengkhawatirkan kemiskinan diri dan masyarakat.

Pria yang saleh, berakhlak mulia dan diridhoi oleh wanita serta keluarganya, harus diterima jika melamar. Selain kesalehan, diperkenankan menggunakan kriteria lain, seperti kecocokan tabiat dan taraf ekonomi dalam mempertimbangak calon suami atau memilih calon suami yang sekufu (sebanding).

**

Dari penjelasan tersebut, bisa jadi bahwa nikah itu menjadi wajib. Nikah menjadi wajib, jika, pertama, memiliki dorongan syahwat yang besar, dan jika tidak menikah segera kemungkinan besar disalurkan dengan cara yang haram.

Alasan kedua, memiliki kemampuan secara finansial. Tegasnya, dalam kondisi ini kewajiban untuk menikah lebih utama/didahulukan daripada kewajiban ibadah haji. Ketentuan ini juga berlaku bagi wanita, jika dia takut terjerumus ke dalamperzinaan jika tidak menikah segera.

Sejatinya, nikah itu tidak dapat disebut sebagai kewajiban, tetapi menjadi sunah. Loh, kok bisa, ya?

Ya, bisa saja. Sebab, nikah menjadi sunah apabila masih mampu menahan dorongan syahwatnya untuk tidak berbuat yang haram. Ini dapat dilakukan orang yang memiliki komitmen keislaman yang baik, sehingga ketakwaannya mampu mencegah berbuat yang haram.

Dalam hal ini, menikah menjadi sunah muakad karena dalam rangka mengikuti sunah Rasulullah Saw.

Ingat, menikah itu juga bisa menjadi haram. Penyebabnya, jika tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi hak isteri, seperti tidak memberikan nafkah, tak mampu melakukan hubungan seksual, dan kalau menikah terpaksa mencari nafkah dari jalan yang haram.

Juga menjadi haram jika calon suami atau isteri mengidap suatu penyakit menular yang mematikan meskipun sudah memberitahukan kepada calon psangannya dan dia siap menerima resikonya. Tetapi jika penyakit menular itu ringan dan calon pasangan setelah diberi tahu siap menerima resikonya, maka pernikahan menjadi boleh baginya.

Dalam Islam sangat ditekankan untuk tidak menikah dengan wanita yang haram dinikahi (mahram), wanita punya suami, wanita dalam masa penantian ('iddah), lelaki menikah dengan perempuan musyrik, atau muslimah yang menikah dengan lelaki yang berlainan agama atau atheis.

Hindari nikah mut'ah (kontrak), nikah tahlil (telah ditalak tiga), nikah syighar (nikah barter) karena akan membawa dampak buruk bagi yang melaksanakannya.

Keputusan untuk menikah ini tak semudah membalikan kedua telapak tangan. Sebab, hal itu menyangkut hari depan bagi seseorang. Karena itu jangan masang target pada resulusi pada tahun 2020.

Kata tetangga sebelah, jodoh di tangan Tuhan. Namun begitu, kita, semua, wajib berupaya mendapatkan pasangan terbaik. Namun jangan pula terlalu berlebihan memasang kriterianya, misalnya harus mendapati pasangan yang kaya raya, berlimpah harta.

Salam berbagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun