Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ustaz Ini Sering Diprotes Warga

27 November 2019   06:27 Diperbarui: 27 November 2019   06:40 2141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam ini sulit tidur. Bukan lantaran tak punya uang lalu takut tak makan esok hari. Bukan pula sedang menderita sakit atau pun disebabkan menghadapi persoalan berat seperti tengah dimarahi isteri. Bukan itu. Cuma satu penyebabnya yang bagi orang lain bisa saja dianggap sangat sepele.

Apa itu?

Tak jauh-jauh, mikirkan sang ustaz takut dikeroyok orang kampung. Pasalnya, sang ustaz ini sering mengambil keputusan tergolong berani. Berani bukan lantaran fisiknya masih kekar menghadapi warga, bukan pula karena punya kekuasaan dalam mengelola masjid sebagai ketua.

Ustaz berusia 70-an ini berani mengambil keputusan karena yakin langkah dan perbuatannya tidak menyalahi hukum negara dan agama.

Bayangkan, di tengah beredarnya isu larangan bagi pendukung Ahok -- sebutan Basuki Tjahaja Purnama (BTP) -- tak boleh disholatkan di masjid, justru sang ustaz mengizinkan ambulance dari rumah ibadah itu boleh digunakan untuk menjemput jenazah orang nonmuslim yang meninggal hingga ke tempat pemakaman.

Bukan itu saja ia seperti banyak berpihak kepada orang nonmuslim. Kala Idul Adha, ia membagikan daging kurban kepada orang Kristen yang secara ekonomi tidak menggembirakan.

Ia pun tak puduli ucapan pengurus masjid dari tetangga sebelah. Katanya, orang kafir miskin disantuni sedangkan Muslim yang kekurangan masih banyak.

Pada kesempatan lain, ketika diundang orang beragama Kristen pada sebuah pesta perkawinan, sang ustaz pun datang mengenakan kain sarung dan kopiah putih hajinya.

Suatu ketika di kawasan ia tinggal ada umat nasrani wafat, ia datang ke kediamannya. Warga pun mempertanyakan, wah pak ustaz sudah menjadi kafir sekarang.

**

Sudah dua bulan penulis belajar kajian Alquran dan tajwid dari ustaz ini. Penulis tak sebut namanya, cukup dengan inisial saja, yaitu Dd. Oleh rekan penulis sering dipanggil Dede saja, padahal nama lengkapnya bukan itu.

Nah, ustaz Dd secara tak sengaja menjelaskan prihal itu semua kala penulis usai belajar membaca Alquran.

Ceritanya, ia merasa dimusuhi warga dari kampung sebelah lantaran ambulance masjid diizinkan mengangkut jenazah orang nonmuslim.

Begini. Kala itu seorang pengurus masjid dimintai bantuan untuk mencarikan ambulance oleh familinya. Lantaran tak punya uang, termasuk juga anggota keluarga yang meninggal, ia meminta tolong kepada sang ustaz.

Tak diduga, respon sang ustaz menggembirakan. Maka, jadilah ambulance itu digunakan. Lalu omongan bernada miring hingga positif pun bermunculan. Pro dan kontra muncul antarwarga. Tapi, biarlah itu berjalan.

Pokoknya, kata sang ustaz, secara kemanusiaan -- siapa pun dia, jika memang butuh pertolongan harus disegerakan. Titik.

**

Lantas, apa alasan Pak Ustaz memberi daging kurban kepada warga nonmuslim?

Ketika itu ia didatangi pengurus masjid kampung sebelah. Protesnya begini. Mengapa kepada nonmuslim daging kurban itu diberikan?

"Saya sih, saat itu, menyampaikan terima kasih ditegur dan diingatkan. Hanya saja, tunjukan kesalahan saya?" ujar sang ustaz.

Yang menegur tak bisa memberikan dalil yang kuat. Tak sepatah pun argumentasi disampaikan.

Dijelaskan bahwa memberi daging kurban kepada nonmuslim tidak dilarang. Lihat lingkungan dan situasinya. Apakah tega, sementara anak-anak di pos ronda makan sate dengan gembira sedangkan anak nonmuslim menangis minta dibelikan sate kepada orang tuanya saat itu.

Karena itu, tak elok rasanya jika para bocah dalam pergaulannya lalu menjadi terganggu. Bocah-bocah harus gembira bersama saat Idul Adha. Lagi pula daging kurban yang diberikan kepada nonmuslim itu bukan berasal dari masjid, tapi dari pribadi sendiri.

Sang ustaz pun juga tak terlalu mengindahkan celoteh negatif yang bermunculan di sekitar. Kala ia diundang orang nonmuslim, tetap datang mengenakan pakaian muslim dan songkok putih. Justru dengan cara itu, pada acara tersebut, orang sekitar banyak menaruh hormat dan mengajak ngobrol dengan ramah.

"Saya gembira," katanya meski tetap mengedepankan kehati-hatian untuk mengonsumsi makanan dan minuman yang tersaji.

Begitu juga kala mendatangi warga nonmuslim yang tengah terkena musibah, anggota keluarganya wafat, sang ustaz hadir di pemondokan itu.

Lalu, ada yang mempertanyakan kehadiran dirinya di situ. Sang ustaz balik bertanya, apakah yang meninggal di hadapan kita ini binatang atau manusia?

"Manusia pak ustaz!" jawab para hadirin.

"Kalau begitu, beri hormat kepadanya sebagaimana mestinya," ujar sang ustaz.

**

Menebar kebaikan kepada sesama tak melulu disertai dengan banyak berceloteh. Kalau tak memiliki ilmunya, bisa berakibat menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Masyarakat sekarang makin cerdas. Warga makin sadar, beragama harus disertai akal dan ilmu yang mendukungnya.

Karena itu, bagi sang ustaz, memberi contoh dalam bertoleransi sangat penting.

Ketika penulis menggali latar-belakang diri sang ustaz, secara tak sengaja terungkap bahwa dirinya ketika masih muda menimba ilmu agama dari Prof. DR. H. Abdul Malik Karim Amrullah gelar Datuk Indomo, populer dengan nama penanya Hamka. Almarhum Buya Hamka adalah seorang ulama dan sastrawan Indonesia. Ia berkiprah sebagai wartawan, penulis, dan pengajar.

Hmmmm, pantas santrinya Buya Hamka!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun