Â
Sang murid sudah menjadi walikota, eh sang guru masih asyik naik sepeda ke sekolah. Sang murid sudah pada kuliah, sang guru masih bangga dengan sepeda ontelnya untuk modal mengajar di sekolah.
Karena rasa bangganya dengan sang guru masih setia mengajar hingga usia senja. Sang murid yang sudah menjadi konglemerat menjumpainya di tengah perjalanan.
Sang guru ditawari motor baru. Tapi ditolak lantaran selain tak bisa mengemudikan motor juga tak mampu mengurus pajak pada hari berikutnya. Maka, sang guru tetap asyik menggoes ke sekolah. Ia tetap sehat lantaran rajin naik sepeda.
Dalam prespektif sejarah Islam, menghormati guru tak sebatas mencium tangannya saja ketika sang murid hendak masuk ke kelas. Juga tak cukup mengucap salam dan mengindahkan segala nasihatnya untuk giat belajar setiap hari. Apa lagi memberi hadiah mewah.
Itu saja tidak cukup.
Guru dalam pandangan Islam adalah "pelita", cahaya, di kegelapan malam. Melalui guru pulalah kita bisa menjadi seperti ini sekarang. Dengan guru pulalah kita merasa termotivasi menuntut ilmu sehingga diri bermanfaat bagi orang banyak.
Indonesia bisa merdeka lantaran hadirnya guru. Nggak percaya?
Bapak Proklamator RI, Ir. Soekarno itu ketika masih muda banyak belajar dari seorang guru. Yaitu, Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto, lebih dikenal dengan nama H.O.S Tjokroaminoto, salah satu pemimpin organisasi pertama di Indonesia, yaitu Sarekat Islam.
Banyak tokoh pergerakan sebelum kemerdekaan belajar dengan H.O.S Tjokroaminoto. Antara lain Soekarno yang kemudian mendirikan Partai Nasional Indonesia. Tokoh besar lainnya yang menjadi guru adalah Jenderal Besar Raden Soedirman.
Sudirman lahir 24 Januari 1916 dan meninggal 29 Januari 1950 pada umur 34 tahun. Ia adalah seorang perwira tinggi Indonesia pada masa Revolusi Nasional Indonesia. Sebagai panglima besar Tentara Nasional Indonesia pertama, ia adalah sosok yang dihormati di Indonesia.