Lalu, dia berkeliling mencari pengobatan dari satu dokter ke dokter lain dan diagnosa yang menafikan adanya penyakit selalu ditanggapinya dengan rasa tidak percaya (disbelief) dan tidak yakin (doubt).
Seorang hypochondriac mempunyai ciri tak henti-hentinya memeriksa kondisi tubuhnya sendiri dari hari ke hari (constant self-examination) dan membuat diagnosa sendiri (self diagnosis).Â
Dia benar-benar terobsesi dengan tubuhnya sendiri (preoccupied), sehingga gangguan kesehatan kecil saja sudah membuat dia panik dan merasa sedang diserang penyakit mematikan.
**
Nah, setelah menyuruh kaumnya bertobat dan memohonkan ampunan bagi mereka, Nabi Musa as dan Nabi Harun as meneruskan perjalanan. Namun sayang sebelum Nabi Musa as dan Nabi Harun as sampai di Kan'an, Nabi Harun as meninggal dunia.
Kisah di atas sesungguhnya sudah sering diangkat para ustaz dan ustazah di berbagai kesempatan. Utamanya pada hari-hari besar Islam dengan maksud memberi pelajaran bahwa untuk menanamkan kepercayaan kepada suatu kaum -- dalam perjalanan waktu -- selalu mendapat tantangan dan gangguan.
Tidak harus berjalan mulus. Ini memgingatkan kita pesan ulama yang menyebut, jangan kamu mengaku beriman sebelum kamu diuji.
Jadi, perjalannya berliku-liku. Demikian halnya Nabi Musa as dan Nabi Harun as "diganggu" oleh "oknum" kaumnya bernama Samiri, si pembuat patung sapi dari emas.Â
Sungguh, hal serupa juga bisa terjadi di dalam setiap anggota keluarga. Bahkan seorang kepala negara yang bercita-cita untuk menyejahterakan rakyatnya.
Kabinet Indonesia Maju baru saja diumumkan. Menteri-menterinya sudah ditetapkan dan dilantik. Terdengar suara kritik dan ketidakpuasan. Realias itu harus dihadapi. Pesan sang ustaz sangat sederhana.Â
Yaitu, waspadai hadirnya "oknum" Samiri dalam wujud yang baru. Sebab, ia bisa mengalihkan perhatian rakyat yang mengakibatkan sesama anggota kabinet cekcok.