Direncanakan pengajar di kampus tersebut tak hanya dari Indonesia, tetapi juga dari mancanegara. Berbagai penjajakan itu mendapat tanggapan sangat baik, seperti kerja sama ahli-ahli, dalam hal bahasa dan pengiriman mahasiswa.
Karena kerja sama antaragama, maka di sini diterima mahasiswa nonmuslim, kata JK seperti dikutip dari Harian Kompas.
Diterimanya mahasiswa nonmuslim di UIII bukan hanya menggambarkan toleransi hadir di kampus tersebut. Juga terkandung pesan bahwa Alquran diturunkan dan dipelajari di universitas itu sejatinya untuk seluruh manusia. Â
Pada acara itu hadir sejumlah negara sahabat. Dubes Turki Mahmud Erol Kilic, Dubes Inggeris Owen Jenkins, Dubes Jepang Masafumi Ishii, dan Dubes Amerika Serikat Joseph R Donovan Jr.
Sementara JK didampingi Menteri Luar Negeri Retno Lestari Priansari Marsudi, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Syafruddin dan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi M Nasir.
Rektor UIII Prof. Komaruddin Hidayat berjanji akan mendatangkan profesor dari berbagai negara seperti Arab, Amerika Serikat, Jepang, Australia dan Eropa. Untuk bidang kajian Islam, kerja sama juga dilakukan dengan Al-Azhar di Mesir dan Maroko.
Mengapa JK begitu serius dengan pendirian UIII itu?
Begini penjelasannya. Realitasnya harus diakui bahwa isu pluralisme kadang menjadi komoditas berita hangat, diperbincangkan melibatkan para tokoh agama dan masyarakat tatkala mencuat peristiwa intoleransi di suatu tempat. Namun, suatu saat mendingin disertai peringatan tetap waspada akan hadirnya provokator yang mengusik ketenangan di masyarakat.
Perbedaan karena suku, agama, ras dan antargolongan -- yang kemudian dikenal sebagai SARA -- sesungguhnya tidak perlu menjadi isu yang ditanggapi secara berlebihan. Sebab, untuk memelihara kerukunan tersebut para pendiri bangsa ini telah merumuskan dalam kata yang sedemikian mudah dipahami, yaitu Bhineka Tunggal Ika.