Jika ingin selamat, jangan dengarkan angin ribut di luar kapal yang tengah berlayar mengarungi ombak. Perhatikan fenomenanya dengan berpegang pada prinsip, kapal harus berlayar menuju satu titik dengan selamat. Â Dalam posisi kritis, nahoda harus punya pikiran kritis dan waras.
Disebut posisi kritis lantaran kapal tengah berlayar dan mendekati satu kota tujuan dengan segala rintangan membentang di depan. Namun di sisi lain sang nahoda pun harus berfikir kritis dan mempertahankan akal sehat. Tak boleh terganggu dengan pendapat yang memancing emosi.
Berfikir kritis dalam suasana kritis memang berbeda hal. Namun pesan yang harus ditangkap, kapal "partai" yang tengah menuju garis finish dalam pelayaran itu harus meraih dua kali tiga keuntungan.
Sekali berlayar, dua tiga kali pulau terlampaui. Orang bijak menyebut sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui. Sama halnya sekali tepuk dua lalat artinya satu kali melakukan pekerjaan, mendapatkan beberapa hasil (atau keuntungan) sekaligus.
Ini adalah sebuah gambaran sikap yang tengah dihadapi Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto. Sumber daya manusia dari kader politiknya sudah dikerahkan dan bekerja "all out" untuk memenangkan kontestasi Pilpres.
Sayang, hasilnya berkata lain. Kaslah. Meski begitu, partai berlambang kepala Garuda itu berhasil menempatkan kader terbaiknya di parlemen dalam jumlah menggembirakan.
Kali ini perhitungan atau kalkulasi Prabowo tepat meski menuai pandangan miring jika dikaitkan dengan pernyataannya selama kampanye berlangsung.
Ya, sesuai dengan momentumnya saat itu, kampanye dimaksudkan membangun citra dan menarik simpati guna mendulang suara sebanyak mungkin. Jika saja pernyataan Prabowo diputar ulang melalui kaset, misalnya, akan dijumpai kesan bahwa pernyataan terasa "ngenyek", merendahkan lawan politiknya, Joko Widodo.
Kala kampanye berlangsung, Prabowo memang berbeda tampilannya. Garang. Gebrak meja dan menyebut pertumbuhan ekonomi dan keamanan negara tidak menggembirakan. Bagaimana mungkin pikiran seperti itu - yang masih melakat di benak publik -- kemudian saat pembentukan kabinet kerja II dapat berbalik arah.
Lalu, kita pun semakin yakin, bahwa benar politik itu dinamis. Lihat, Prabowo realistis. Kini ia tengah merapat ke barisan Jokowi. Partai koalisi Joko Widodo terusik. Jatah kursi di kabinet berkurang.Â
Ini memang di luar nalar, bagaimana mungkin kubu lawan yang dihadapi dengan taruhan darah, keringat, dan waktu melelahkan tiba-tiba diizinkan masuk merapat.