Lagi pula, kalaulah dianjurkan puasa, itu sifatnya anjuran. Puasa sunnah. Boleh dimulai pada 1 Muharram hingga 10 Muharram. Ada yang melaksanakan 9 dan 10 Muharram saja.
"Pokoknya, puasa sunnah. Bukan wajib seperti pada Ramadan, sebulan penuh," kata si mantu dengan nada tinggi.
Sang mertua, tak mau nyerah. Katanya: "Iya, Lebaran Idul Adha juga ada puasa sunnahnya."
Sang mantu merasa kalah berdebat. Lalu, ia melengos, meninggalkan tempat perdebatan urusan pepesan kosong itu. Ia masuk ke kamar sambil membanting daun pintu dan menimbulkan suara keras. Bleger.Â
Sang mertua merasa tersinggung. Ia juga masuk kamar, membereskan pakaian. Lalu, tanpa izin pemilik rumah, meninggalkan kediaman anaknya dengan rasa kesal.Â
Pertengkaran itu menyisakan hati terluka. Kata maaf memang sudah meluncur dari mulut kedua belah pihak, tetapi untuk melupakannya, entahlah. Hanya Allah sebagai pemegang kekuasaan atas seluruh alam semesta yang mengetahui.
**
Kisah di atas adalah reaalitas. Perbedaan pemahaman soal sebutan lebaran menjadi lebar dan berbuah menjadi permusuhan. Â Padahal keduanya adalah mertua dan anak mantu. Sungguh, yang satu berpegang pada ego intelektual akademis dan sang mertua - meski tak lulus sekolah rakayat - sangat meyakini pelajaran yang didapat dari majelis ta'lim.
Ini bukan zaman kuda gigit besi. Negeri tetangga, India, sudah bisa menerbangkan angkasawannya ke bulan. Eh, di sini, soal hal sepele jadi besar. Terlanjur, api sudah membakar dan kita hanya cukup memetik pelajaran.
Dasarnya adalah pada saat itu terjadi peristiwa penting. Yaitu, para Nabi dan Rasul banyak mendapat anugrah. Di antaranya: