Ini hal sepele. Mertua dan mantu ribut gara-gara sebutan Lebaran Anak Yatim. Mentu bertahan pada pendapat bahwa Lebaran atau hari raya Islam itu hanya ada dua: Idul Fitri dan Idul Adha.
Sementara sang mertua (Maersaroh, bukan nama sebenarnya), sesuai dengan pemahaman yang diterima dari para ustazah di majelis ta'lim, sesungguhnya lebaran itu juga dikhususkan bagi kalangan anak yatim.
Jadi, lebaran tak dimonopoli melulu untuk Muslim yang menjalani puasa sebulan penuh (Ramadan) dan ibadah haji atau qurban, tetapi bagi anak yatim pun ada. Dasar pemikiran yang dipakai adalah bahwa anak yatim di mata Rasulullah, Nabi Muhammad SAW mendapat tempat istimewa.
Wuih, keren, kan?
Kapan lebaran anak yatim itu. Ya, setiap 10 Muharram tahun hijriah. Istimewanya lagi, umat Muslim sangat dianjurkan melaksanakan ibadah puasa sunnah.
Penegasan adanya puasa sunnah itu memperkuat argumentasi si mertua, Maesaroh, kala berdebat dengan sang mantu yang mengaku sudah belajar malang melintang di perguruan tinggi dan meraih gelar strata hingga tiga kali. Pokoknya, pakai S-3 alias Doktor.
"Doktor, bukan dokter nyang kerjanya tukang nyuntik ntu," kata si Mertua dengan logat Betawi medok.
"Pinter kok keblinger," kata Mertua dengan nada tinggi dan raut wajah marah.
Sang mantu, Laksana Puteri, lalu angkat bicara. Katanya, jika lebaran anak yatim itu ada, pemerintah pasti sudah lama menetapkan sebagai hari libur nasional. Sama dengan libur Idul Fitri dan Idul Adha.
"Ini kan nggak ada. Yang ada malah 1 Muharram ditetapkan sebagai hari libur nasional," ia menimpali.