Bang Idris selalu hati-hati dalam mengambil keputusan. Undangan maen pukulan dalam acara buka palang pintu dipertimbangkan dengan cara bermunajat kepada Sang Maha Pencipta. Ia yakin sekali bahwa sekali keputusan diambil akan membawa resiko untuk hari-hari berikutnya.
Bukan kalah atau menang yang dicari pada acara itu. Maen pukulan, yang pada zaman sekarang disebut bersilat atau pencak silat, pada acara buka palang pintu memang dimaksudkan untuk memeriahkan sekaligus menghormati para tamu. Tapi, di balik itu, para jawara dari kulon memberi perhatian lebih pada penampilan Bang Idris.
Bang Idris, anak semata wayang Kiyai Toha memang belakangan ini sedang menjadi bahan sorotan. Selain ia pintar membaca Alquran dan memberi nasihat kepada para pemuda di Kampung Petir, juga jadi incaran gadis di kampung seberang. Ganteng sekali sih ia tidak, tetapi sopan santun dan tutur katanya itu kala bicara membuat cewek langsung klepar-kleper.
Bagi para jawara, yang menarik dari sosok Bang Idris adalah soal Golok Buntet. Ketika ia tampil dalam pentas maen pukulan, orang selalu memperhatikan kelebat golok putih mengkilap yang diayunkan si pemiliknya itu.
Soal itu, Bang Idris sejak lama sudah menyadari. Karena itulah, sesuai pesan orangtua, ia selalu berhati-hati dalam setiap pementasan.
"Maen pukulan itu bukan untuk jadi jago-jagoan. Tapi, memperkuat silaturahim dan melestarikan budaya kita. Tentu juga, di dalamnya, ada unsur menjaga kesehatan. Sebab, maen pukulan itu ada unsur olahraga selain seni keindahan," pesan Kiyai Toha yang selalu diingat Idris di setiap saat.
Lalu, Idris pun memberi jawaban undangan acara buka palang pintu setelah tiga malam Shalat Istiharoh, minta petunjuk-Nya.
Idris punya perasaan. Sekali ini maen pukulan pada acara itu bukan ajang untuk memeriahkan pengantenan, tetapi juga sudah ditunggangi pihak lain. Artinya, ada jawara ikut nimbrung, ikut-ikutan, untuk menguji kemampuan dirinya.
Ada yang ingin menjatuhkan dalam maen pukulan. Bukan saling menghormati. Pokoknya, pikir Idris, asal bisa jatuh deprok seja sudah bagus. Untuk mencederai sih, rasanya tak bakalan. Sebab, konsekuensinya bakal menyulut pertikaian sengit di antara para jawara maen pukulan.
Apalagi, Kiyai Toha, meski kini sudah sepuh, masih dihormati para jawara yang bercokol di sejumlah pasar di Jakarta. Pasar Induk Cipinang, Pasar Induk Kramatjati hingga Pasar Enjo dan Jangkrik sekalipun, semuanya "berkiblat" dan belajar dari Abah Toha.
**
Perhelatan pengantenan nampaknya bakal ramai. Diluar kelaziman acara pengantenan memasang spanduk. Pasti bukan lantaran yang jadi pengantin berasal dari anak perawan pejabat dari Kementerian Agama, tetapi yang dipasang foto Bang Idris dan para jawara yang akan memeriahkan acara palang pintu.
"Pantesnya foto pasangan penganten. Kok foto gue yang dipajang," kata Bang Idris kepada teman-temannya kala mengantar dirinya ke lokasi acara.
Acara dimulai. Diawali dengan pembacaan Alquran oleh qori internasional Al-Buchari. Lalu disusul acara berpantun yang disampaikan juru bicara dari kedua belah pihak calon pengantin. Bersahut-sahutan, terdengar seru. Para tamu ikut gembira, ada yang mesem menahan tawa.
Bulan madu ke pulau Bali, Jangan lupa ke pantai Sanur
Agar slalu disayang istri, Jadilah suami yang jujur
Â
Minum kopi di pagi hari, Badan hangat segar dan bugar
Agar slalu disayang suami, Jadilah istri yang penyabar
Â
Buah sawo coklat warnanya, Rasanya manis getahnya lengket
Baik-baiklah jadi mertua, Pada menantu yang kebelet
Â
Cendrawasih indah berbulu, Dilihat sangatlah manis
Selamat Menempuh Hidup Baru, Semoga menjadi keluarga harmonis
Lantas, barulah disusul acara palang pintu. Juga disertai pantun saling bersahutan. Jenaka sih terdengarnya. Tapi, rada ngeri juga karena para juara dari kedua belah pihak sepertinya sudah tak sabar untuk bertarung di areal yang sudah disiapkan panitia.
Â
(A) : Bang.. Asalamulaikum
(B) : Walaikumsalam
(A) : Makan sekuteng di daerah pasar jum'at
Tidak lupa, mampir ke rawa jati
Aye kesini ama rombongan dengan segala hormat
Mohon diterime dengan senang hati.
(B) : Bang, Ade pagi ade malem
Ade pula bulan ade matahari
Kalo bukan lantaran perawan noh di dalam
Kaga bakalan gue anterin kemari.
Lantas, pantun makin terasa "panas" lantaran salah satu pihak mengatakan:
Kentang sepukul, elu nantang gue pukul.
Sontak, maen pukulan tak terhindarkan. Seorang jawara dari kulon meloncat dan meminta Bang Idris segera maju.
Bang Idris hanya meju selangkah. Sementara sang penantang dengan pukulan cepatnya mengarah ke muka dan dapat dihindari. Pukulan kembali diulang, tapi tak mengena. Bang Idris menghentakan kaki disambut sepakan ke arah kuda-kuda, tapi justru membuat sang lawan mental.
Sang lawan berharap Bang Idris mengeluarkan Golok Buntet. Caranya, ia memancing dengan mencabut golok agar ditimpali permainannya. Tapi, justru Bang Idris tak meladeni dan menyudahi penampilannya.
Acara masih berlanjut. Para jawara maen pukulan tampil tak kalah memukau dengan permainan goloknya masing-masing. Tapi, para jawara merasa kecewa lantaran Bang Idris tak memainkan Golok Buntet miliknya.
Saking kecewanya, seorang jawara bernama Jabrik tampil ke muka. Di hadapan para undangan meminta agar Bang Idris untuk kembali tampil dan memainkan Golok Buntet. Bagi para jawara, murid Kiyai Toha, golok itu punya keistimewaan khusus.
Tapi Bang Idris menolak. Alasannya, acara itu adalah untuk memeriahkan perhelatan pernikahan. Lagi pula, ia datang atas undangan buka palang pintu. Bukan untuk menunjukan kelebihan diri seseorang.Â
Lalu Idris melanjutkan kalimatnya. Jika saja orang tuanya setuju, Â ia akan meminta izin menggelar festival maen pukulan.
"Setuju. Akur," teriak penonton.
Ya, para jawara pun sepakat.
Tetapi, lanjut Idris saat acara usai, bila orang tuanya merestui perhelatan maen pukulan, maka para muridnya harus hadir. Jawara dari Kampung Pisangan, si Bogel, harus ikut. Jawara dari Kampung Petir, Â si Japra. Dari Kampung Gondrong, si Bengek dan para jawara dari sejumlah pasar di kawasan Kampung Paku Haji harus diundang. Juga dari Kerawang. Tuh dari Kampung Bulak Kapal, Pedurenan dan Gabus jangan dilupakan.
Maunya sih jawara dari Lampung dan Palembang, yang sudah banyak melukapan Kiyai Toha, diundang juga. Tapi, tak ada catatan dimana mereka berdomisilinya. Maklum, mereka kebanyakan jadi perantau ke negeri orang.
"Tapi, apa hadiahnya yang menang nanti?" tanya temannya sambil melangkah keluar gedung pertemuan.
Lama Bang Idris berfikir. Lantas, sebelum ia mengutarakan pemberian hadiah, ia berencana membahas hal itu dengan orang tuanya. Secepatnya.
Dalam benak Bang Idris, festival maen pukulan nanti tidak boleh menggunakan senjata tajam. Golok atau tombak tak boleh dimainkan. Semua pakai tangan kosong.
Ada satu lagi yang ikut dilombakan, yaitu berpantun. Sebab, dari pantut akan tercermin watak dan kehalusan budi para jawara.
Jawara jangan diidentikan dengan orangnya galak. Serem karena punya kumis tebal dan pakai cincin segede keong racun. Bukan itu. Jawara maen pukulan harus juga punya kehalusan budi yang patut diteladani bagi warga sekitar. Jangan samakan jawara dengan preman.
Nah, bagi juaranya nanti ia sudah memikirkan akan menyerahkan Golok Buntet yang biasa dikenakan ketika tampil di berbagai perhelatan akbar.
"Untuk juara, golok ini sebagai hadiahnya," pikir Bang Idris.
Bang Idris berharap orangtuanya, yang sudah memasuki usia 70-an, panjang umur sehingga bisa menyerahkan hadiah utama kepada sang pendekar sejati pada perhelatan maen pukulan yang sudah diagendakan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI