Tapi Bang Idris menolak. Alasannya, acara itu adalah untuk memeriahkan perhelatan pernikahan. Lagi pula, ia datang atas undangan buka palang pintu. Bukan untuk menunjukan kelebihan diri seseorang.Â
Lalu Idris melanjutkan kalimatnya. Jika saja orang tuanya setuju, Â ia akan meminta izin menggelar festival maen pukulan.
"Setuju. Akur," teriak penonton.
Ya, para jawara pun sepakat.
Tetapi, lanjut Idris saat acara usai, bila orang tuanya merestui perhelatan maen pukulan, maka para muridnya harus hadir. Jawara dari Kampung Pisangan, si Bogel, harus ikut. Jawara dari Kampung Petir, Â si Japra. Dari Kampung Gondrong, si Bengek dan para jawara dari sejumlah pasar di kawasan Kampung Paku Haji harus diundang. Juga dari Kerawang. Tuh dari Kampung Bulak Kapal, Pedurenan dan Gabus jangan dilupakan.
Maunya sih jawara dari Lampung dan Palembang, yang sudah banyak melukapan Kiyai Toha, diundang juga. Tapi, tak ada catatan dimana mereka berdomisilinya. Maklum, mereka kebanyakan jadi perantau ke negeri orang.
"Tapi, apa hadiahnya yang menang nanti?" tanya temannya sambil melangkah keluar gedung pertemuan.
Lama Bang Idris berfikir. Lantas, sebelum ia mengutarakan pemberian hadiah, ia berencana membahas hal itu dengan orang tuanya. Secepatnya.
Dalam benak Bang Idris, festival maen pukulan nanti tidak boleh menggunakan senjata tajam. Golok atau tombak tak boleh dimainkan. Semua pakai tangan kosong.
Ada satu lagi yang ikut dilombakan, yaitu berpantun. Sebab, dari pantut akan tercermin watak dan kehalusan budi para jawara.
Jawara jangan diidentikan dengan orangnya galak. Serem karena punya kumis tebal dan pakai cincin segede keong racun. Bukan itu. Jawara maen pukulan harus juga punya kehalusan budi yang patut diteladani bagi warga sekitar. Jangan samakan jawara dengan preman.