Nah, mendapati cerita tersebut, sebagai orang waras harus meyakini hal gaib. Yaitu, usia seseorang tak dapat ditentukan. Jika sudah waktunya, ya pulang ke Pangkuan Illahi. Menduga bahwa yang wafat terkena "guna-guna", tentu dapat disebut sebagai penilaian yang berlebihan.
Sebagai orang beragama, tentu harus bisa memilah mana ranah alam gaib yang dimaksud sebagai KisahHoror dan realitas atau kehidupan senyatanya di alam ini.
**
KisahHoror memang ada, tetapi kadang kita paling suka melebih-lebihkan. Namun bagaimana agar kisah tersebut proporsional, tidak berlebihan dan sesuai dengan apa dilihat, dan dirasakan di tempat kejadian. Ya, ceritakan sebagaimana adanya.
Penulis yang sering ditugasi di daerah medan konfik, entah itu di Pontianak, Palangkaraya, Timor Timur (Timtim) dan Aceh sering menyaksikan bola api pada malam hari. Ketika memasuki Pontianak (1995), awal mulainya konflik antaretnis di provinsi Kalimantan Barat, tiap malam bola api berseliweran.
Peristiwa Sanggau Ledo -- yang kemudian dikenal sebagai konflik antar-etnis Dayak dengan Madura di Sanggau Ledo (sekarang masuk Kabupaten Bengkayang), pada Desember 1996 hingga Januari 1997 -- merupakan kejadian sulit dilupakan penulis.
Karena itu, kisah horor ini tak bisa lepas dari konflik antaretnis. Dayak vs Madura, Madura vs Melayu. Ingin rasanya melupakan kejadian semua itu. Tapi, dalam tulisan ini cukup menyangkut bagian-bagian yang bisa diceritakan tanpa mengurangi rasa hormat saudara kita yang ketika itu terlibat dalam konflik.
Penulis pun masih ingat betul kala bertugas di Timor Timur (Timtim). Para prajurit yang pernah bertugas di Timtim bisa jadi ada di antaranya terkena sengatan Kalajengking saat mengenakan sepatu boot. Padahal, di asrama bersangkutan lingkungannya seteril dari kemungkinan masuknya binatang mematikan seusai menyengat.
Di daerah itu, kala penulis berada di Dili, 'babi ngepet' bergeliaran. Tak heran, uang penulis ketika berada di asrama pun sering sebagian lenyap. Penulis pun menyaksikan usai ba'da Isya, binatang menyerupai babi itu berkeliaran dari satu tempat ke tempat lain, lalu mendekati objek sasaran di pemukiman yang ditempati warga pendatang.
Berbeda lagi dengan di Aceh. Para prajurit sering menjadi bahan tertawaan gerombolan pengikut Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Mengapa?
Ya, lantaran para prajurit kita matanya tidak awas terhadap musuh. Ketika orang-orang GAM melintas di perkampungan, tentara kita tak dapat melihat sosok mereka. Mengapa itu bisa terjadi?