Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perlunya Kemenag Ubah Paradigma

27 Agustus 2019   09:59 Diperbarui: 27 Agustus 2019   10:14 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kementerian Agama (Kemenag) perlu mengubah paradigma dalam program-program kerukunan antarumat, tidak melulu mengedepankan dan menekankan aspek keagamaan yang menjadi domain selama ini, tetapi sudah harus meningkatkan kualitasnya dengan menghindari pemisahan urusan agama dan nasionalisme.

Fokus peningkatan kualitas kerukunan antarumat kini menjadi tantangan bagi kementerian ini. Direktorat Bimbingan Masyarakat yang mengurusi agama-agama, atau yang dikenal Dirjen Bimas (Islam, Kristen, Protestan, Hindu, Buddha dan Khonghucu), tidak boleh lagi terpaku pada militansi dan mengenyampingkan keberagaman.

Demikian halnya kualitas peningkatan pengamalan agama-agama menjadi penting di tengah keberagamanan. Namun jangan diseret untuk dipertentangkan satu-sama lain di tengah perbedaan. Memahami perbedaan agama-agama dalam menjalani ibadah diharapkan untuk memperkuat nasionalisme.

Jadi, kualitas beragama dan kerukunan harus diarahkan untuk memperkuat nasionalisme bangsa. Agama harus memberi warna dalam kehidupan sosial, dalam kehidupan bermasyarakat yang beragam.

Bicara Pancasila hingga mulut berbuih tidak akan bermakna ketika manusianya tak menjalankan syariat agama sebagaimana mestinya. Tuntunan agama mestinya dapat diarahkan untuk memperkuat kelima sila dalam kehidupan berbangsa.

Urusan seperti itu semestinya melekat pada seluruh direktorat di kementerian yang mengurusi agama-agama. Sebab, disintegrasi bangsa di negeri ini potensinya dapat muncul dari persoalan agama, ras, suku dan antargolongan (SARA).

Coba lihat, ada kumpulan orang di Jakarta mengaku mengklaim sebagai ulama dan kemudian menyebut bahwa Pancasila harus ditambahi Syariat. Tegasnya, ada penyebutan Pancasila Syariat, sebutan Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI Syariat. Apakah Indonesia diembel-embeli syariat? Entahlah.

Alasannya sangat dangkal sekali. Jika di Indonesia ada bank syariat tentu NKRI juga bersyariat.

Jika agama di luar Islam kemudian memakai kata syariat, apa nggak  marah tuh kelompok yang mengklaim telah sukses memberi embel-embel negara RI bersyariat?

Bagi penganut agama lain, ya jelas bingung. Sementara pemerintah sendiri, sampai kini, pada posisi 'adem ayem'.

Kok, seenaknya sendiri memberi tambahan dalam penyebutan ideologi bangsa. Bukankah para pemeluk agama-agama, yang berbeda-beda itu, juga memiliki hak yang sama dalam menjalani kelima sila. Toh, tak mungkin mereka harus menjalani persatuan bangsa "bersyariat" ?

**

Sejatinya, dalam berbagai literatur, nasionalisma adalah paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri; sifat kenasionalan. Nasionalisme sayogianya makin menjiwai bangsa Indonesia. 

Nasionalisme harus dibangun dengan kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu; semangat kebangsaan.

Namun ada nasionalisme yang perlu dihindari. Yaitu, nasionalisme sempit itu yang bahaya. Biar jelek, biar maling yang penting sesuku, satu ras dan agama dengan saya. itu yang buat negara ini terpuruk! - Basuki Tjahaja Purnama.

Nasionalisme yang sejati, nasionalismenya itu bukan semata-mata copy atas tiruan dari Nasionalisme Barat, akan tetapi timbul dari rasa cinta akan manusia dan kemanusiaan. -- Soekarno.

Nah, lantaran demikian pentingnya nasionalisme itu, kini menjadi tambah penting menempatkan bahwa peningkatan kualitas pemahaman agama-agama. Bahkan akan mewarnai dalam pengamalan setiap sila. Kapan dan dimana pun dengan tetap menjunjung keberagaman, toleransi dalam bingkai nasionalisme.

Di Asia, kita bisa berkaca kepada Jepang dan Korea Selatan. Dua bangsa ini memiliki nasionalisme 'hebat'. Sejatinya, Indonesia sebagai bangsa besar bisa sejajar dengan bangsa itu.

Bisakah? Ya bisa, asal saja peran agama dapat dijadikan perekat bangsa dengan semangat nasionalisme yang dimiliki. Dalam konteks ini Kementerian Agama memang perlu mengubah paradigmanya.

Apa lagi bahwa kehidupan harmoni antarumat beragama di Indonesia sejatinya sudah berlangsung lama. Yang perlu diwaspadai adalah masih adanya 'oknum' memainkan ideologi untuk kepentingan kelompok dan pribadinya.

Syukurlah, kini para pemeluk agama-agama menyadari bahwa manusia akan dikenang karena amal perbuatannya. Bukan saling caci maki dan menyingkirkan kebaikan orang lain. Amal saleh (kesalehan sosial) sangat penting karena akan dimintai pertanggungjawabannya di hari akhir.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun