Kementerian Agama (Kemenag) perlu mengubah paradigma dalam program-program kerukunan antarumat, tidak melulu mengedepankan dan menekankan aspek keagamaan yang menjadi domain selama ini, tetapi sudah harus meningkatkan kualitasnya dengan menghindari pemisahan urusan agama dan nasionalisme.
Fokus peningkatan kualitas kerukunan antarumat kini menjadi tantangan bagi kementerian ini. Direktorat Bimbingan Masyarakat yang mengurusi agama-agama, atau yang dikenal Dirjen Bimas (Islam, Kristen, Protestan, Hindu, Buddha dan Khonghucu), tidak boleh lagi terpaku pada militansi dan mengenyampingkan keberagaman.
Demikian halnya kualitas peningkatan pengamalan agama-agama menjadi penting di tengah keberagamanan. Namun jangan diseret untuk dipertentangkan satu-sama lain di tengah perbedaan. Memahami perbedaan agama-agama dalam menjalani ibadah diharapkan untuk memperkuat nasionalisme.
Jadi, kualitas beragama dan kerukunan harus diarahkan untuk memperkuat nasionalisme bangsa. Agama harus memberi warna dalam kehidupan sosial, dalam kehidupan bermasyarakat yang beragam.
Bicara Pancasila hingga mulut berbuih tidak akan bermakna ketika manusianya tak menjalankan syariat agama sebagaimana mestinya. Tuntunan agama mestinya dapat diarahkan untuk memperkuat kelima sila dalam kehidupan berbangsa.
Urusan seperti itu semestinya melekat pada seluruh direktorat di kementerian yang mengurusi agama-agama. Sebab, disintegrasi bangsa di negeri ini potensinya dapat muncul dari persoalan agama, ras, suku dan antargolongan (SARA).
Coba lihat, ada kumpulan orang di Jakarta mengaku mengklaim sebagai ulama dan kemudian menyebut bahwa Pancasila harus ditambahi Syariat. Tegasnya, ada penyebutan Pancasila Syariat, sebutan Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI Syariat. Apakah Indonesia diembel-embeli syariat? Entahlah.
Alasannya sangat dangkal sekali. Jika di Indonesia ada bank syariat tentu NKRI juga bersyariat.
Jika agama di luar Islam kemudian memakai kata syariat, apa nggak  marah tuh kelompok yang mengklaim telah sukses memberi embel-embel negara RI bersyariat?
Bagi penganut agama lain, ya jelas bingung. Sementara pemerintah sendiri, sampai kini, pada posisi 'adem ayem'.
Kok, seenaknya sendiri memberi tambahan dalam penyebutan ideologi bangsa. Bukankah para pemeluk agama-agama, yang berbeda-beda itu, juga memiliki hak yang sama dalam menjalani kelima sila. Toh, tak mungkin mereka harus menjalani persatuan bangsa "bersyariat" ?