Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kerukunan Perlu Dirawat, Peran PKUB Perlu Diperluas

23 Agustus 2019   10:36 Diperbarui: 23 Agustus 2019   11:06 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Masjid dan Gereja, tembok berhimpitan. Baik-baik aja, toh. Foto | Dokpri

 

Kerukunan umat beragama, pandangan para ahli, adalah kondisi hubungan antarpemeluk agama yang dapat berubah sewaktu-waktu.

Kerukunan tidak datang dari langit begitu saja. Diperlukan kewaspadaan untuk memeliharanya, tak boleh lengah sedikit pun. Suatu kondisi kerukunan yang sedikit terganggu, harus diselesaikan agar tidak membesar.

Jika api kala masih kecil bisa dikendalikan, namun jika sudah membesar perlu tenaga dan kebersamaan dalam memadamkannya. Jelas, jika api membesar lebih sulit memadamkannya.

Kita masih ingat menjelang berakhirnya kekuasaan Orde Baru pada 1990-an, di berbagai wilayah dilanda konflik dan kerusuhan sosial bernuansa suku, ras agama dan antargolongan (SARA). 

Kita pun masih ingat akan peristiwa bernuansa agama di Amon.   

Lalu, negeri ini mendapat sorotan dari dalam dan luar negeri. Selama 1990-an tercatat 30 kasus konflik dan kerusuhan sosial yang hampir seluruhnya berkaitan dengan sosial keagamaan (Depag, 2006).   

Beranjak dari peristiwa itu, pemerintah lalu membentuk Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB). Secara resmi institusi itu berioperasi sejak April 2002.

Berlakangan ini kita dihentakan dengan kerusuhan di Manokwari. Peristiwa itu disebut sebagai buntut dari dugaan persekusi mahasiswa Papua di berbagai daerah, seperti di Surabaya, Malang, dan Semarang.

Sebelumnya, sejumlah kelompok organisasi masyarakat (ormas) mendatangi asrama mahasiswa Papua di Jalan Kalasan, Surabaya, Jawa Timur.  Lukas Enembe, Gubernur Papua, mengapresiasi aksi unjuk rasa tersebut karena berjalan damai. Bahkan massa pun bertemu langsung dengan Gubernur untuk menyampaikan sikap yang mengencam aksi persekusi dan rasisme.

Masih ada peristiwa bernuansa SARA seperti itu terjadi di negeri ini. Tentu saja kejadian tersebut dapat mengganggu stabilitas nasional dan menjadi ancaman serius bagi eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Padahal, sesungguhnya KitaSemuaBersaudara. 

**

Lantas, kita patut bertanya. Apakah peristiwa-peristiwa tersebut disebabkan Indonesia terlalu besar sehingga untuk mengelolanya terkesan tidak apik, pilih-pilih daerah? 

Maka, kita pun jadi ingat cerita si anak bawang merah dan bawang putih. Di situ ada anak emas pula.

Penduduk Indonesia kini sekitar 250 juta jiwa, mendiami 11.000 pulau dari 17.504 pulau di seluruh Nusantara. Letak negara ini juga sangat stategis karena menjadi penghubung maritim dan teritorial antara benua Asia dan Australia. Selain luas wilayah dan penduduknya banyak, tanah Indonesia juga kaya dengan sumber daya alamnya.

Meski begitu, kita masih mengadapi masalah besar berupa kemiskinan dan kebodohan, termasuk pengangguran. Jika dilihat dari indek pembangunan manusia (United Nations) Indonesia berada pada peringkat 108 dari 177 negara. 

Dari indeks Kualitas Hidup (The Economist) berada pada peringkat 71 dari 111 negara. Dari Indeks Kebebasan Ekonomi (Heritage Foundation/The Wall Street Journal), berada pada peringkat 110 dari 157 negara. Nah, lebih parah lagi dari Persepsi Korupsi (Tranparancy Internasional) Peringkat 130 dari 163 ngeara.

Sedjatinya, luas wilayah dan besarnya jumlah penduduk bukan alasan. Terlebih mengangkat banyaknya suku, budaya dan agama sebagai penghalang cita-cita bangsa. Apa lagi dikaitkan dengan kualitas hidup dan persepsi korupsi yang masih buruk.

Sayogianya, justru hal tersebut menjadi potensi kuat untuk memajukan cita-cita bangsa. Karena itu, kemajemukan bangsa Indonesia menjadi hal menarik. 

Para pendiri bangsa, dan kita pun, sepakat bahwa keanekaragaman suku, budaya dan agama menduduki peran penting membentuk tatanan hidup manusia yang lebih sejahtera. 

Perbedaan latar belakang hidup, budaya, bahasa, pendidikan, iklim, dan lingkungan hidup, mewarnai perjuangan warganya untuk hidup dalam integritas, intelektual, moral, yuridis dan spiritual. 

Karena itu, kita, Bangsa Indonesia memang harus bersyukur ditakdirkan sebagai bangsa yang hidup dalam pluralitas dan multikultural dari segi etnis, agama, bahasa, budaya dan adat istiadat.

Tak ada satu pun di dunia yang memiliki sifat keragaman seperti bangsa Indonesia yang memiliki tiga ratus suku bangsa dan bahasa-bahasa berbeda. Belum lagi agamanya: Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha dan Khonghucu. 

Peta kehidupan umat beragama di Indonesia pada 2005 terdiri dari Islam 88,10 persen, Kristen (6,11 persen), Katolik (3,18 persen), Hindu (1,79 persen), Buddha (0,61 persen), Khonghucu (0,10 persen) dan agama lainnya di bawah 0,11 persen.

Masjid dan Gereja, tembok berhimpitan. Baik-baik aja, toh. Foto | Dokpri
Masjid dan Gereja, tembok berhimpitan. Baik-baik aja, toh. Foto | Dokpri
**

Bila ketika menengok ke belakang, agama-agama yang masuk ke Indonesia punya ciri. Paling tidak ada tiga ciri: Yaitu, pertama, semua agama masuk ke Indonesia tidak melalui kekuatan militer sehingga tidak ada yang pernah merasa menang atau kalah.

Kita tahu, pihak yang kalah biasanya akan menunggu kesempatan untuk membalas dendam.

Kedua, masuknya agama-agama ke Indonesia secara damai. Maka, tidak ada pemutusan batin terhadap kehidupan kultural lama, sehingga mau tidak mau saling mengakomodasi. Ketiga, temperamen bangsa Indonesia tidak panas. 

Tidak ada penindasan agama seperti di Eropa dulu. Bahkan agama di Indonesia menjadi motor revolusi. Agama menjadi faktor memenangkan perjuangan bangsa Indonesia terhadap kezaliman penjajah.

Mengutip pendapat Franz Magnis-Suseno (1995), dengan Pancasila, Indonesia sejak merdeka dengan cukup berhasil telah menjamin kebebasan beragama, kesamaan hak warga semua agama sebagai warga negara dengan prinsip non-diskriminasi. 

Apa bila hubungan saling menghormati antarpemeluk agama-agama dapat dibangun, tinggal selangkah kecil ke depan yang seakan-akan mengunci hubungan positif itu: "kemampuan untuk saling menghargai".

**

Belakangan ini PKUB menjadi tulang punggung bagi Kementerian Agama (Kemenag) dalam melaksanakan program rekonsiliasi di berbagai daerah, pemetaan konflik, lokakarya, orientasi dan dialog tentang kerukunan serta kerja sama dengan Kementerian Luar Negeri dalam program soft diplomacy di berbagai negara.

Terpenting lagi memafasilitasi kelahiran Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang mendiseminasikan ide-ide kerukunan antarumat beragama di masyarakat.

Selama 10 tahun terakhir, peran PKUB banyak membuahkan hasil dari sisi kegiatan pencegahan konflik antarumat beragama, kegiatan rekonsiliasi dan pemulihan pasca konflik dan program penguatan kerjasama antaragama.

Namun kita harus tetap waspada. Seperti dikemukakan di atas, kerukunan umat beragama adalah kondisi hubungan antarpemeluk agama yang dapat berubah sewaktu-waktu. Perisitiwanya juga tak melulu dipicu prihal agama semata, bila pula disebabkan perbedaan kultural dan sosiologis.

Karena itu, sungguh elok peran PKUB dan FKUB di berbagai daerah diperluas. Tak terbatas pada soal keagamaan semata. Konflik sosial seperti yang terjadi di Ambon, Kalimatan Barat dan Kalimatan Tengah beberapa tahun silam ikut diwarnai faktor lainnya seperti yang terjadi di Papua belaknagnan ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun