Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memerdekakan Anak Miskin dan Bermasalah dari Kebodohan

16 Agustus 2019   17:47 Diperbarui: 16 Agustus 2019   17:49 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Di sini anak miskin dan bermasalah belajar. Foto | Dokpri

Berawal dari Gadis Cantik

Saat menganggur, waktunya banyak diisi membantu orang tua membawa sampah. Setiap hari, sejak bangun pagi hingga petang. Tangannya belepotan kotoran, tak segera dibersihkan. Tetap saja giat bekerja, membuka pintu pagar dari rumah yang satu ke rumah berikut di sebelahnya sambil berteriak, sampah!

"Sampah!"

Aprillia tengah cuci piring di kediamannya. Foto | Dokpri
Aprillia tengah cuci piring di kediamannya. Foto | Dokpri
Teriakan kata sampah kembali diulang ketika membuka pintu pagar rumah tak terkunci. Segera sampah yang teronggok bungkus kantong pelastik bekas di pojok rumah dan tergantung di pagar diambilnya. Lalu, dilemparkan ke bak sampah beroda dua yang ditarik ayahnya.

Lantaran muatannya penuh, sang ayah lantas naik ke atas bak sampah yang menjadi kawan setia sehari-hari itu. Sampah diinjaknya agar padat dengan maksud onggokan sampah dari beberapa rumah dapat ditampung. Sementara sang puterinya terus berjalan dari rumah ke rumah mengambil sampah sambil diawasi orang tuanya menarik gerobak sampah.

Pemandangan keseharian itu sungguh memilukan. Gadis berusia 12 tahun, Aprillia, - biasa dipanggil April -  harus kehilangan haknya untuk belajar di bangku sekolah. Ia menjadi korban ketidakmampuan orang tua, miskin. Ya, karena miskin, sang orang tua April -- Lintang, yang oleh warga setempat dipanggil si Roy -- terpaksa meminta jasa puterinya untuk membantu mengumpulkan sampah.

Lintang alias Roy, dalam sehari, harus berkeliling dan mendatangi beberapa rumah yang terletak di jalan-jalan kecil di lingkungan RW.01 Kelurahan Ceger, Jakarta Timur.  Setidaknya, 80 rumah didatangi dan diambil sampahnya. Dan, agar sampah cepat terkumpul lalu segera dibuang ke lokasi yang sudah ditetapkan, ia meminta bantuan puterinya.

Bagi Aprillia alias April tak ada pilihan untuk menolak permintaan orang tuanya. Gadis cantik yang sebelumnya pernah menikmati bangku sekolah hingga kelas lima sekolah dasar di kampungnya itu, dipaksa dengan realitas kehidupan pahit. Maka, jadilah ia sebagai anak tukang sampah. Boleh jadi, secara tidak sengaja ayahnya, si Roy, tengah mempersiapkan April sebagai tukang sampah pula di kemudian hari. Ikut jejak orang tuanya.

Anak miskin dan Aprillia tengah bermain. Foto | Dokpri
Anak miskin dan Aprillia tengah bermain. Foto | Dokpri
Sungguh! Ini benar-benar terjadi. Kala penulis mendatangi kediaman orang tua April, di sebuah rumah bedeng dan beralaskan papan, didapati keterangan bahwa sang kakek dari gadis itu juga menjalani hidup sebagai tukang sampah.

Kakek dan sang cucu menempati rumah yang dipisah sekat-sekat terbuat dari triplek butut. Hmmm. Isteri penulis yang ikut mendatangi kediaman gadis ini tak bisa bicara banyak. Isteri penulis mencoba menahan kesedihan, kemudian bercakap-cakap untuk mencari tahu, mengapa April sampai tidak bisa melanjutkan pendidikannya lagi.

Menempati bedeng di Jalan Rambo, penulis saksikan rumah si gadis April itu sangat memprihatinkan. Rumah yang dibangun si Roy terbuat dari material bekas ukuran sekitar tiga kali tiga meter. April ditempatkan di ruang terpisah, lebarnya tak lebih dari satu setengah meteran.

Sedangkan si Roy bersama isteri dan dua anaknya yang lelaki tidur bersama. Kasur pun dari karet busa bekas. Ya, sudah pasti diambil dari tong sampah. Sedangkan kamar mandi berada di luar. Bangunannya terbuat dari material bekas buangan. Berdiri di atas lahan milik negara, kepunyaan Kementerian PUPR.

Kakek, anak dan cucu berada di lingkungan tak sehat. Foto | Dokpri
Kakek, anak dan cucu berada di lingkungan tak sehat. Foto | Dokpri
Tak ada ruang dapur. Memasak di luar dengan kayu bakar. Sekarang tak bisa menggunakan kompor gas, karena tabungnya beberapa hari lalu dicuri orang, kata isteri Roy, Ranti.

Fasilitas kamar mandi sangat buruk. Harus digunakan bergantian. Jika tak hati-hati ketika menggunakannya, daun pintu bisa terbuka 'ngablak' ditiup angin. 

Seusai berkunjung ke kediaman April, isteri penulis dalam perjalanan pulang berkomentar: "Inikah yang dimaksud oleh para pakar ekonomi disebut sebagai kemiskinan terstruktur?"

Anak Miskin dan Bermasalah

Di sini anak miskin dan bermasalah belajar. Foto | Dokpri
Di sini anak miskin dan bermasalah belajar. Foto | Dokpri
Aprillia melapor kepada isteri penulis. Katanya, di kelasnya banyak anak besar-besar. Ia merasa takut.

Mendapat laporan itu, isteri penulis mendatangi lembaga pendidikan Al-Amiria, sebuah pendok pesantren yang menyelenggarakan pendidikan paket A bagi anak kurang mampu di belakang kawasan Terminal Kampung Rambutan, Jakarta Timur. 

Kunjungan tersebut untuk memastikan agar April dapat belajar nyaman di lembaga tersebut. April disertakan untuk belajar di program paket A agar tidak kehilangan hak belajarnya. Jika saja ia disertakan untuk sekolah reguler, di sekolah dasar, ada hambatan lantaran status orang tuanya, selain tak mampu juga tak dapat dukungan pemda setempat karena masih tercatat sebagai warga pendatang.

Atas dukungan dana dari isteri penulis, April bisa melanjutkan pendidikan di paket A. Ia bisa mengikuti pelajaran dengan baik, kata para guru pembimbing. Hanya saja, karena perbedaan usia dengan teman-temannya di sekolah menyebabkan ia merasa takut.

"Iya, di sini kan anak-anaknya berasal dari orang tua bermasalah, dan beragam persoalan lainnya," ucap Pak Hidayat, guru yang tercatat sebagai anggota Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM).

Penulis saksikan, banyak di antara murid sudah berusia di atas 17 tahun. Bahkan ada di antara berusia 20 tahun. Mereka putus sekolah karena berbagai sebab: kena narkoba, membantu orang tua, menjadi pengamen, tak mendapat perhatian dari kedua orang tua.

"Di sini anak ondel-ondel pun ada," sambung ibu Amah, pengajar pada sekolah tersebut.

Maksudnya anak ondel-ondel, bukan berasal dari patung ondel-ondel. Tapi dari kalangan pengamen yang membawa boneka ondel-ondel beramai-ramai, lalu dua tiga orang pelakunya membawa patung ondel-ondel secara bergantian, memainkan musik dan meminta uang kepada orang sekitar.

Mengajar anak-anak bermasalah harus kuat. Kuat sabarnya karena jika tidak dihadapi dengan sabar mereka tidak akan mau belajar. Sudah datang saja kita harus memberi apresiasi.

Bapak Amir, sosok peduli pendidikan. Foto | Dokpri
Bapak Amir, sosok peduli pendidikan. Foto | Dokpri
Jadi, yang belajar di paket A bukan saja berasal dari anak yang orang tuanya tidak mampu (miskin), tetapi juga anak yang menjadi korban lantaran kedua orang tuanya berpisah. Kawin lagi. Anak tidak diurus. Anak menjadi korban narkoba. Wuih, persoalannya bejibun.

Dari fenomena anak miskin dan bermasalah itu, maka kita harus bersukur bahwa Pak Hidayat dan Ibu Amah mau mewakafkan hidupnya di lembaga Al-Amiria. KeunggulanOrangIndonesia seperti itu patut diapresiasi. Keduanya adalah sosok insan peduli pendidikan terhadap anak-anak yang memiliki beragam persoalan.

Patut disukuri bahwa dalam realitas kehidupan yang tengah menjurus kepada hedonisme masih hadir sosok-sosok tenaga pendidik anak miskin dan bermasalah.

Ustaz Amir, pendiri yayasan pendidikan Al-Amiria, mengakui tak salah jika tahun ini diangkat "SDM Unggul, Indonesia Maju" sebagai tajuk nasional peringatan HUT ke-74 RI. Hal ini perlu disadari bahwa mengatasi kebodohan di negeri ini tak bisa sepenuhnya diserahkan kepada orang tua dan pemerintah.

Untuk urusan pendidikan, semua pemangku kepentingan (stakeholder) harus ambil bagian.  Mengingat lagi, ke depan, Indonesia sebagai negara besar mendapat bonus demografi selama rentang waktu 2020-2035, dan puncaknya pada 2030. Selama terjadi bonus demografi, komposisi penduduk Indonesia akan didominasi oleh kelompok usia produktif sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi. Maka dari itu, kita harus siap.

Dari realitas yang ada, nah disini peran pendidikan ikut menentukan keberhasilan anugrah demografi itu. Peduli pendidikan anak adalah tanggung jawab bersama. Tentu saja termasuk di dalamnya mendidik anak miskin dan bermasalah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun