Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memerdekakan Anak Miskin dan Bermasalah dari Kebodohan

16 Agustus 2019   17:47 Diperbarui: 16 Agustus 2019   17:49 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Di sini anak miskin dan bermasalah belajar. Foto | Dokpri

Sedangkan si Roy bersama isteri dan dua anaknya yang lelaki tidur bersama. Kasur pun dari karet busa bekas. Ya, sudah pasti diambil dari tong sampah. Sedangkan kamar mandi berada di luar. Bangunannya terbuat dari material bekas buangan. Berdiri di atas lahan milik negara, kepunyaan Kementerian PUPR.

Kakek, anak dan cucu berada di lingkungan tak sehat. Foto | Dokpri
Kakek, anak dan cucu berada di lingkungan tak sehat. Foto | Dokpri
Tak ada ruang dapur. Memasak di luar dengan kayu bakar. Sekarang tak bisa menggunakan kompor gas, karena tabungnya beberapa hari lalu dicuri orang, kata isteri Roy, Ranti.

Fasilitas kamar mandi sangat buruk. Harus digunakan bergantian. Jika tak hati-hati ketika menggunakannya, daun pintu bisa terbuka 'ngablak' ditiup angin. 

Seusai berkunjung ke kediaman April, isteri penulis dalam perjalanan pulang berkomentar: "Inikah yang dimaksud oleh para pakar ekonomi disebut sebagai kemiskinan terstruktur?"

Anak Miskin dan Bermasalah

Di sini anak miskin dan bermasalah belajar. Foto | Dokpri
Di sini anak miskin dan bermasalah belajar. Foto | Dokpri
Aprillia melapor kepada isteri penulis. Katanya, di kelasnya banyak anak besar-besar. Ia merasa takut.

Mendapat laporan itu, isteri penulis mendatangi lembaga pendidikan Al-Amiria, sebuah pendok pesantren yang menyelenggarakan pendidikan paket A bagi anak kurang mampu di belakang kawasan Terminal Kampung Rambutan, Jakarta Timur. 

Kunjungan tersebut untuk memastikan agar April dapat belajar nyaman di lembaga tersebut. April disertakan untuk belajar di program paket A agar tidak kehilangan hak belajarnya. Jika saja ia disertakan untuk sekolah reguler, di sekolah dasar, ada hambatan lantaran status orang tuanya, selain tak mampu juga tak dapat dukungan pemda setempat karena masih tercatat sebagai warga pendatang.

Atas dukungan dana dari isteri penulis, April bisa melanjutkan pendidikan di paket A. Ia bisa mengikuti pelajaran dengan baik, kata para guru pembimbing. Hanya saja, karena perbedaan usia dengan teman-temannya di sekolah menyebabkan ia merasa takut.

"Iya, di sini kan anak-anaknya berasal dari orang tua bermasalah, dan beragam persoalan lainnya," ucap Pak Hidayat, guru yang tercatat sebagai anggota Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM).

Penulis saksikan, banyak di antara murid sudah berusia di atas 17 tahun. Bahkan ada di antara berusia 20 tahun. Mereka putus sekolah karena berbagai sebab: kena narkoba, membantu orang tua, menjadi pengamen, tak mendapat perhatian dari kedua orang tua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun