Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Sudah Sunnatullah, Jokowi dan Prabowo Rekonsiliasi

26 April 2019   22:35 Diperbarui: 26 April 2019   23:12 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jokowi dan Prabowo. (Foto: The Jakarta Post)

Di kalangan masyarakat Betawi, yang benar-benar Betawi tulen loh, pasti mengetahui apa yang dimaksud ungkapan seperti ini. Piring di steleng ada juge beradunye (piring di rak piring ada juga beradunya). Kalimat ini bermakna bahwa orang berkeluarga (suami isteri) tentu juga ada perselisihannya.

"Pikir!" gitu kalimat yang keluar dari mulut isteri tercinta ketika tengah marah. Tentu cara penyampaiannya tak sama bagi semua emak-emak. Tapi, ya gitulah umumnya.

Bahkan, kata pikir tersebut didramatisir seperti Cak Lontong tengah mempromosikan suatu produk. "Nih, pikir. Jangan pakai dengkul!" begitulah kalimat orang yang tengah marah sambil telunjuknya mengarah ke jidat suami kemudian diarahkan ke dengkulnya sendiri.

Ada orang yang menanggapi suami-isteri yang tengah berkelahi itu dengan istilah keduanya sedang "sakit otak". Maksudnya keduanya tengah gila lantaran ketika berkelahi tidak mengenakan logika. Emosi lebih ke depan. Keduaya tengah tak waras.

Bisa jadi hal itu berawal dari berbagai hal: faktor ekonomi, rasa cemburu dan hilangnya akal karena kedua pasangan tak mengindahkan janji setia ketika mereka menikah.

Bertengkar dalam rumah tangga juga bisa disebabkan perbedaan pilihan partai politik. Pada tahun politik ini, memang tak terlalu mengemuka, ada pasangan bercerai dilatarbelakangi perbedaan idelogi politik hingga politik identitas yang dimainkan.

Potret itu juga terlihat dari perseteruan kubu Prabowo Subianto -- Sandiaga S Uno berhadapan dengan kubu Jowo Widodo -- KH Ma'ruf Amin. Realitas di masyarakat, kita bersyukur kedua kubu sudah punya niat untuk melakukan rekonsiliasi.

Nah, sebelum jauh membahas pentingnya rekonsiliasi kedua kubu itu, penulis ingin menjelaskan sedikit tentang  bacaan Sighat Ta'lik. Bacaan ini sangat penting bagi suatu pernikahan. Juga punya keterkaitan dengan suatu kelompok yang tengah berseteru.

Tujuannya, sebagai pemahaman bahwa ketika pihak-pihak mengikrarkan diri sebagai suami dan isteri, ada kewajiban bagi suami dan isteri yang harus diindahkan. Sebagai pengingat, nih penulis turunkan agar pasangan suami isteri (yang sudah tua pun) ingat tentang hak dan kewajibannya dalam mengarungi rumah tangga.

Sesudah akad nikah, saya :
.............................................. bin ........................................... berjanji dengan sesungguh hati bahwa saya akan mempergauli istri saya yang bernama : ................................ binti ...................................... dengan baik (mu'asyarah bil ma'ruf) menurut ajaran Islam.

Kepada istri saya tersebut saya menyatakan sighat ta'lik sebagai berikut. Apabila saya :

1. Meninggalkan istri saya selama 2 (dua) tahun berturut-turut;
2. Tidak memberi nafkah wajib kepadanya 3 (tiga) bulan lamanya;
3. Menyakiti badan atau jasmani istri saya;
4. Membiarkan (tidak memperdulikan) istri saya selama 6 (enam) bulan atau lebih,

Dan karena perbuatan saya tersebut, istri saya tidak ridho dan mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama, maka apabila gugatannya diterima oleh Pengadilan tersebut kemudian istri sayamembayar uang sebesar Rp. 10,000,- (sepuluh ribu rupiah) sebagai 'iwadl (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak saya satu kepadanya.

Kepada Pengadilan Agama saya memberikan kuasa untuk menerima uang 'iwadl (pengganti) tersebut dan menyerahkannya kepada Badan Amil Zakat Nasional setempat untuk keperluan ibadah sosial.

Jakarta, ............................ 2014

Suami,

(...........................)

Dalam rumah tangga -- sudah menjadi sunatullah -  antara sumi dan isteri ada "berantemnya".  Bisa diumpamakan, sendok dan garpu di atas piring kerap berbenturan ketika suami isteri tengah makan satu meja.

Sejauhmana kualitas perseteruannya, sangat tergantung "tensi" perilaku pasangan itu sendiri. Kalau saja keduanya sadar bahwa mereka membentuk rumah tangga dimaksudkan untuk menciptakan kedamaian, maka tak perlu lagi perbedaan dan kekurangan yang ada disikapi sebagai bahan perseteruan, tapi justru untuk saling melengkapi dan menyempurnakan.

**

Meminjam istilah mantan Wakil Presiden Adam Malik, "semua bisa diatur". Ya, di negeri ini semua bisa diatur dan diselesaikan karena watak bangsa ini adalah cinta perdamaian.

Kalimat yang sering dipakai mantan wartawan dan menteri luar negeri itu memang diarahkan sebagai kritik atas situasi saat itu bahwa segala sesuatu bisa diatur dengan duit.

Tapi, untuk urusan politik pasca Pilpres 2019 ini,  1001 persoalan juga bisa diselesaikan karena elite partai politik, tokoh masyarakat, tokoh agama dan ulamanya masih punya rasa memiliki bahwa negara ini harus diatur bersama. Partisipasi politik tak cukup diperankan oleh satu partai politik saja.

Kubu 01 dan kubu 02 ikut berpartisipasi dalam Pilpres diawali dengan menekan kontrak "siap kalah dan siap menang".  Mereka juga sepakat ketika dilakukan pencoblosan di kotak suara, penyelenggaranya adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan segala aturannya. Di situ ada pengawas, ada saksi dan pengamat. Belum lagi pemantau yang bekerja secara transparan.

Kekurangan dan kelebihan penyelenggaraan Pilpres 2019 sudah terlalu banyak diungkap. Berbagai pihak sepakat, pemilu perlu dievaluasi dan disempurnakan. Itu jadi catatan tersendiri. Lantas, bagaimana dengan rekonsiliasi yang sekarang digaungkan dan diupayakan.

Kontak antarpersonal dari kedua kubu sudah ada. Niat pun dikuatkan. Satu dua partai dan calon legislatif mengapresiasi kerja KPU meski disertai catatan.

Yakinlah, Prabowo dan Jokowi akan menepati janjinya. Mengapa?

Karena mereka orang yang beriman, percaya adanya yang hak dan Tuhan Yang Maha Esa. Kita harus optimis, upaya dan doa sudah dipanjatkan. Tinggal kembali kepada ketetapan Allah bahwa alam dan segala isinya diciptakan dengan keteraturan dan seimbang.  Ikut Sunnatullah.

Kembali kepada Sighat Ta'lik tadi. Sebuah janji bagi pasangan suami dan isteri, namun relevansinya masih erat bagi kehidupan bangsa. Ingat, ketika awal Pilpres hendak digelar, janji-janji memakmurkan anak negeri ditebar. Termasuk janji menerima kekalahan dalam kontestasi Pilpres 2019. Penting diingat bahwa janji adalah hutang.

Karena itu, dalam Islam disebut Wa Aufuu Bil-Ahdi Innal-Ahda Kaana Mas-Uulaa.  Tepatilah janjimu, sesungguhnya janji itu kelak akan dituntut.

Sumber bacaan satu dan dua

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun