Akhirnya, Moeldoko, Kepala Staf Kepresidenan (KSP) tampil ke depan dan menyuarakan perang total (total war) untuk memenangkan kontestasi Pilpres 2019. Pernyataan Ketua Harian Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo (Jokowi)-Ma'ruf Amin, Moeldoko sesungguhnya tidak relevan dengan konteks Piplres.
Pasca pernyataan tersebut, terdengar suara bahwa Moeldoko harus berhati-hati dengan pernyataannya. Sebab, bisa-bisa nanti akan dilawan dengan "jihad qital". Apa itu jihad qital?
Jihad, dalam terminologi Islam, menurut Imam Masjid Istiqlal Jakarta, Prof. Nasaruddin Umar, berasal dari akar kata jahada membentuk tiga kata kunci, yakni jihad (perjuangan dengan fisik), ijtihad (perjuangan dengan nalar), dan mujahadah (perjuangan dengan kekuatan rohani).
Ketiga kata tersebut mengantarkan manusia untuk meraih kemuliaan. Jihad yang sebenarnya tidak pernah terpisah dengan ijtihad dan mujahadah. Jihad harus merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan kekuatan ijtihad dan mujahadah.
Jihad tanpa perhitungan matang, apalagi mendatangkan muderat lebih besar kepada orang yang tak berdosa, tidak tepat disebut jihad. Boleh jadi itu tindakan nekat atau sia-sia yang dilegitimasi dengan dalil agama. Bahkan itu mungkin tindakan keonaran (al-fasad).
Jihad bertujuan untuk mempertahankan kehidupan manusia yang bermartabat, bukannya menyengsarakan apalagi menyebabkan kematian orang-orang yang tak berdosa.
Sinerji antara jihad, ijtihad, dan mujahadah inilah yang selalu dicontohkan Rasulullah. Jihad Rasulullah selau berhasil dengan mengesankan. Di medan perang dan di medan perundingan ia selalu menang, disegani, dan diperhitungkan kawan dan lawan.
Lantas apa itu qital. Qital lebih sempit maknanya ketimbang jihad. Qital secara harfiah berasal dari akar qatala berarti membunuh.
Penggunaan kata qital dalam Al-Qur'an lebih banyak berarti peperangan dalam arti fisik, ketika umat Islam diserang atau terdesak, mereka diharuskan untuk mempertahankan diri dengan cara qital, berperang semaksimal dan seprofesional mungkin.
Pilpres sejatinya adalah pesta demokrasi. Sejatinya para elite pun sepakat, pesta demokrasi harus dijalani dengan gembira oleh seluruh rakyat. Lantas, mengapa harus memakai analogi perang total dan perang badar?
Ke depan, para elite politik perlu lebih berhati-hati karena Indonesia itu sesungguhnya adalah satu.