Jadi, doa itu ada waktunya seperti waktu antara adzan dan iqomat, setelah shalat, di waktu malam hari, sepertiga malam hari, di hari Jumat, ketika minum air zamzam dan masih banyak lainnya dan disampaikan secara khusyuk, diaminkan bersama-sama.
Tentu saja dalam konteks doa yang disampaikan Neno tadi berbeda dengan zaman Rasulullah saw ketika Perang Badar. Apa lagi di negeri yang memiliki falsafah Pancasila dan menghormati agama-agama yang ada.
Doa yang disampaikan Neno menggambarkan seolah orang lain tak pernah memanjatkan doa. Berdoa kepada Allah seolah hanya dilakukan koalisi 02, Prabowo-Sandiaga S Uno. Berdoa jadi monopoli kelompoknya.
Kalau sudah begitu, peran para santri/santriwati di pondok pesantren itu dikemanakan? Justru mereka, atas dukungan ulama dan para kiai, habaib, para santri setiap hari memanjatkan doa usai shalat lima waktu. Lagi pula, bukankah kubu 01 Jokowi-Ma'ruf Amin juga pemeluk Islam? Ini pesta demokrasi, Pilpres, dan bukan Perang Badar.
Sejatinya, apakah di dunia ini ada orang berdoa atau tidak, Allah tak merasa rugi. Yang merugi ya manusia itu sendiri. Maka, berdoalah kepada Allah niscaya akan dikabulkan. Tapi, sungguh aneh, jika Neno berdoa dengan memaksa Allah dengan alasan jika kalah akan tidak ada lagi orang menyembah kepada-Nya.
Patut dipertanyakan, siapa diri kita ini? Kok bisa tahu sudah tidak ada lagi orang Indonesia berdoa apabila kelompoknya menderita kalah. Penulis hanya ingin mendudukan persoalan tentang Perang Badar dan Doa. Tidak ada kepentingan soal dukung mendukung dalam Pilpres 2019 ini.
Ingat, doa bukan untuk lelucon.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H