Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Ini "Amunisi" Penting bagi Prabowo untuk Jatuhkan Jokowi

22 Februari 2019   22:35 Diperbarui: 23 Februari 2019   02:09 1221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Capres nomor urut 01 Joko Widodo (kiri) dan Capres nomor urut 02 Prabowo Subianto (kanan) disaksikan Ketua KPU Arief Budiman (tengah) bersiap mengikuti debat capres 2019 putaran kedua di Hotel Sultan, Jakarta, Minggu (17/2/2019). Debat kedua yang hanya diikuti capres tanpa wapresnya itu mengangkat tema energi dan pangan, sumber daya alam dan lingkungan hidup, serta infrastruktur. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/aww. (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/aww.)

 Jika kubu 02 Prabowo Subianto - Sandiaga S Uno masih serius untuk memenangkan debat ketiga Pilpres mendatang, ini amunisi yang perlu dikuasai untuk menjatuhkan Joko Widodo - KH Ma'ruf Amin, yaitu problem data keagamaan.

Apa bila itu dikuasai, saya yakin Prabowo bisa mengambil posisi Jokowi yang kini tengah berada di "atas angin". Keren, kan?

Namun penting diingat bahwa ini isu sensitif. Maklum, namanya juga agama pada setiap kali kampanye menjadi barang murah untuk diangkat sebagai isu. Isu baca Alquran diangkat, soal menolak menyolatkan umat lantaran berbeda pilihan dan seterusnya. Itu adalah contoh pada peristiwa kampanye lalu. Betapa harus hati-hatinya mengangkat isu agama.

Jika saja kubu Prabowo yang didukung oleh partai "surga" dengan petinggi dari kalangan akademik hingga profesor bisa menguasai problem data keagamaan, selain akan mendapat asupan "amunisi" untuk debat ketiga nanti, tidak mustahil dirinya akan mendapat apresiasi dari kubu lawannya, Jokowi.

Tentu saja untuk mengangkat isu agama, bila yang bersangkutan Islam, maka harus paham huruf hijaiyah. Aturan sholat, siapa yang berhak menjadi imam. Termasuk bagaimana pula posisi waria dalam sholat lima waktu. Jika tak menguasai hal-hal kecil seperti itu, bisa kejeblos mengangkat isu agama dalam kampanye.

Sekali lagi, keren, kan?  Bila pada debat sebelumnya Pak Prabowo memberi apresiasi kepada Pak Jokowi, nanti justru dirinya mendapat apresiasi. Mengapa begitu?

Coba perhatikan. Di berbagai kesempatan Presiden Joko Widodo yang kita cintai itu sering mengajak warga berdialog langsung dengan rakyatnya. Utamanya rakyat kecil dan kadang membuat kita tertawa terbahak menyaksikannya lantaran warga yang ditanyai tentang nama-nama ikan memberi jawaban tidak pas.

Lantaran pada dialog dengan warga berujung pada pemberian hadiah sepeda, maka kunjungan Jokowi di berbagai daerah sangat dinantikan. Siapa sih yang tak ingin sepeda dari orang nomor satu di negeri ini? Penulis saja masih mau meski tak bisa naik sepeda. Hehehe.

Nah, menariknya, pernahkah anda mendengar Pak Jokowi menanyakan kepada warganya tentang rumah ibadah, seperti masjid untuk umat agama apa?   Untuk gereja bagi umat beragama apa? Untuk kelenteng bagi umat apa, dan rumah ibadah Litang bagi agama siapa dan seterusnya bagi umat penganut Tao nama rumah ibadahnya apa?

Nggak pernah hal itu dilakukan. Bisa jadi, Jokowi sangat arif dan sangat berhati-hati karena hal itu masalah yang sangat sensitif. Sekali lagi, sensitif.

Apa lagi jika disinggung tentang kolom agama di kartu tanda penduduk atau KTP. Jika hal ini diangkat dalam perdebatan "lepas", atau seperti orang bermain tinju di atas ring, maka Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan kehilangan "marwahnya". 

Sangguh tepat para pendiri negeri ini meletakan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara. Dengan begitu, rakyat negeri ini mengenal perbedaan satu sama lain dan saling menghormati masing-masing pemeluk agama-agama yang ada. Sayangnya, belum  semua warganya mengenal rumah ibadah yang ada dan bertebaran di berbagai pelosok.

Umat Islam dengan penganutnya terbesar di Tanah Air pasti tahu rumah ibadahnya adalah masjid, mushola atau langgar. Tapi belum tentu pemeluk agama lain tahu rumah ibadah agama Buddha, Hindu, Kristen dan Konghucu. Pemeluk Kristen belum tentu tahu rumah ibadah Konghucu, demikian pula sebaliknya. Penganut Hindu belum tentu tahu rumah ibadah Tao, juga sebaliknya. Mengapa? Karena dianggap hal itu tidak terlalu penting, namun menjadi penting ketika kerukunan dirusak oleh tangan kotor.

Patut ditanya pula, berapa jumlah penganut agama-agama di Tanah Air. Hingga kini tak ada data dan mampu memberi jawaban. Kalaupun Badan Pusat Statistik (BPS) punya data, dapat dipastikan tidak akurat. Eh, berani amat sih penulis begitu?

Justru di sini kubu 02 harus mencari. Prabowo ditantang. Bila hal itu dapat diperoleh, maka boleh jadi hal itu merupakan "amunisi" untuk menjatuhkan pihak lawan. 

Mumpung mendekati perayaan Cap Go Meh, patut kita pertanyakan, berapa sih pemeluk Konghucu di Tanah Air?  

Saat memasuki tahun baru China, Imlek, umat banyak mendatangi rumah ibadah Kelenteng. Pertanyaannya, apakah yang datang itu semua pemeluk Khonghucu?  Tentu, tidak. Dalam berbagai literatur dan masih diyakini bahwa kelenteng adalah tempat beribadah bagi umat Khonghucu atau Tionghoa perantauan. 

Di dalam Klenteng ini terdapat berbagai macam rupang/patung dewa-dewi, di antaranya rupang aliran Buddha Mahayana, rupang aliran Taois, rupang aliran Konfusianis. Pada awalnya, dewa-dewi itu dihormati oleh penganut marganya masing-masing.

Mengapa ada aliran Buddha, Tao dan konfusius. Nah, untuk menjawab ini tentu ceritanya agak panjang. Singkat cerita, agama-agama ini pada masa pemerintahan Orde Baru seolah dipaksa menyatu dan beribadah di Kelenteng. Padahal, jauh sebelum itu, punya rumah ibadah masing-masing seperti Khonghucu dengan rumah ibadah Litang.

Di Singkawang, Kalimantan Barat (Kalbar), kampung halaman rekan-rekan penulis, banyak umat Khonghucu dan mempraktikan ajarannya dengan baik, ternyata di kolom KTP miliknya banyak tercatat menganut agama Buddha. Untuk mengubah, mereka merasa enggan. Mengapa?

Pertama, karena mereka ingin menjaga toleransi dengan agama Buddha setempat. Terpenting substansi ibadahnya, bukan tercatat di KTP. Padahal ini penting ketika pihak otoritas dalam memberi layanan keumatan.

Kedua, bisa jadi, karena masih trauma pada lembaran kelam bahwa penganut Khonghucu adalah keturunan China dan disisihkan dalam pergaulan. Lebih lagi rejim Orde Baru saat itu melarang perayaan Cap Go Meh, hingga mereka melakukan ritualnya secara sederhana.

Dengan demikian, untuk mendapatkan data akurat berapa pemeluk agama Buddha dan Khonghucu di Kalbar sangat sulit. Ini baru satu daerah dan bisa jadi hal serupa terjadi di daerah lain.

Demikian pula untuk pemeluk Islam. Kita pun kadang merasa heran umat melakukan shalat berjamaah, tetapi tempatnya tidak diberi nama masjid, surau atau mushola.Yang kita tahu, jika hadir umat Islam dari daerah lain ikut berjamaah, maka usai shalat, tempat shalat tadi dibersihkan cepat-cepat oleh merbotnya.

Bisa jadi, karena kita dianggap bukan bagian dari jemaahnya, maka shalat di tempat sebesar masjid itu seolah membawa kotoran. Lantas, ya dibersihkan.

Usai reformasi digaungkan, penganut agama Khonghucu, Tao dan Buddha saling klaim rumah ibadah.  

Tuntutan pengakuan atas rumah ibadah tersebut hingga kini belum menemui ujungnya. Jika demikian, maka Kementerian Agama menghadapi kesulitan untuk membedakan apakah mereka itu penganut agama Buddha Mahayana, Khonghucu atau Tao.

Karenanya, untuk berlaku adil seperti disuarakan umat Khonghucu untuk punya seorang Dirjen di kementerian yang mengurusi agama-agama itu sulit diwujudkan sesegera mungkin. Meski begitu, untuk pelayanan keumatan tetap berjalan.

Jika saja kesulitan yang dihadapi bangsa ini dapat dicarikan solusi, kubu 02 bisa memetik simpatik rakyat. Misalnya, kubu 02 akan mencanangkan sensus keagamaan dengan melibatkan BPS sebagai institusi yang memiliki domain dalam operasionalinya nanti.

Juga, persoalan Atase Agama yang dirasakan penting hadir di luar negeri. Kita pun paham bahwa urusan keumatan terasa penting ketika menghadapi:  kelahiran, nikah, kematian, urusan ibadah hingga politik sekalipun membutuhkan data keagamaan. 

Jika saja kesulitan ini disentuh dan dapat dicarikan solusi, kita patut memberi apresiasi. Ini bukan janji, karena Pak Jokowi orang yang bijaksana dan selalu menghormati penyampai kritik dengan solusinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun