Dengan demikian, untuk mendapatkan data akurat berapa pemeluk agama Buddha dan Khonghucu di Kalbar sangat sulit. Ini baru satu daerah dan bisa jadi hal serupa terjadi di daerah lain.
Demikian pula untuk pemeluk Islam. Kita pun kadang merasa heran umat melakukan shalat berjamaah, tetapi tempatnya tidak diberi nama masjid, surau atau mushola.Yang kita tahu, jika hadir umat Islam dari daerah lain ikut berjamaah, maka usai shalat, tempat shalat tadi dibersihkan cepat-cepat oleh merbotnya.
Bisa jadi, karena kita dianggap bukan bagian dari jemaahnya, maka shalat di tempat sebesar masjid itu seolah membawa kotoran. Lantas, ya dibersihkan.
Usai reformasi digaungkan, penganut agama Khonghucu, Tao dan Buddha saling klaim rumah ibadah. Â
Tuntutan pengakuan atas rumah ibadah tersebut hingga kini belum menemui ujungnya. Jika demikian, maka Kementerian Agama menghadapi kesulitan untuk membedakan apakah mereka itu penganut agama Buddha Mahayana, Khonghucu atau Tao.
Karenanya, untuk berlaku adil seperti disuarakan umat Khonghucu untuk punya seorang Dirjen di kementerian yang mengurusi agama-agama itu sulit diwujudkan sesegera mungkin. Meski begitu, untuk pelayanan keumatan tetap berjalan.
Jika saja kesulitan yang dihadapi bangsa ini dapat dicarikan solusi, kubu 02 bisa memetik simpatik rakyat. Misalnya, kubu 02 akan mencanangkan sensus keagamaan dengan melibatkan BPS sebagai institusi yang memiliki domain dalam operasionalinya nanti.
Juga, persoalan Atase Agama yang dirasakan penting hadir di luar negeri. Kita pun paham bahwa urusan keumatan terasa penting ketika menghadapi: Â kelahiran, nikah, kematian, urusan ibadah hingga politik sekalipun membutuhkan data keagamaan.Â
Jika saja kesulitan ini disentuh dan dapat dicarikan solusi, kita patut memberi apresiasi. Ini bukan janji, karena Pak Jokowi orang yang bijaksana dan selalu menghormati penyampai kritik dengan solusinya.