Pasca Presiden Joko Widodo mengikuti acara cukur massal di Garut, Jawa Barat, Sabtu (19/1/2019), warga Garut yang populer di kalangan warga Jawa Barat dengan sebutan Asgar -- kepanjangan dari Asli Garut -- kini merasa tersanjung  lantaran keahliannya sebagai tukang cukur diakui.
"Presiden saja mau dicukur bersama dengan rakyat. Barengan. Nanti, kalau ada sunatan massal di Garut, cucunya disertakan. Bukan tidak mungkin itu dapat terjadi. Presidennya merakyat, kan?" kata Kang Oman, tukang cukur di kawasan Ceger, Jakarta Timur mengomentari peristiwa langka itu.
Orang Garut memang dikenal sebagai tukang cukur sejak lama. Dari kawasan ini juga banyak warganya punya keahlian memperbaiki sepatu yang rusak. Menjadi tukang sol. Dan yang paling populer adalah membuat jaket kulit yang belakangan ini makin digemari warga Jawa Barat.
Untuk jaket kulit, harganya memang bersaing dengan produk luar negeri. Soal kualitas, tak bakal kalah kalau dibandingkan dengan produk dari negara Eropa. Â Harganya pun bersaing. Karena dari sisi dompet tipis, kala berkunjung ke Garut, penulis hanya mampu membeli topi terbuat dari kulit.
Kalau pintar menawar, dengan bahasa Sunda sedikit-dikit, pasti penjualnya merasa iba. Kalau penjualnya wanita cantik, hati-hati, anda bisa terpikat. Gadis dari Garut memang, hmmm.
Lepas dari hal tersebut, terpenting kini adalah adanya perhatian tinggi dari seorang presiden kepada para tukang cukur tadi. Yaitu, adanya bantuan rumah bagi para tukang cukur dengan subsidi dari pemerintah.
"Wuih, keren, kan?" kata penulis kepada Kang Oman yang mengetahui informasi tersebut melalui layar televisi.
"Saya bangga. Moga-moga pak presiden dan keluarga selalu dalam lindungan Allah," ia mendoakan Jokowi.
Di Jakarta dan beberapa kota lainnya, para tukang cukur asal Garut tak malu-malu menunjukan keakhlian mencukur. Bahkan di ruang cukurnya kadang dijumpai tulisan Asgar sebagai penegasan ia berasal dari Garut.
Pesaing tukang cukur dari Garut kebanyakan anak muda yang mendapat pendidikan keterampilan dari Balai Latihan Kerja. Â Mereka ini umumnya mendapat dukungan modal sehingga mampu membuka tempat cukur dengan ruang yang jauh lebih bersih, ruang ber-AC dan peralatan cukur yang bagus.
Sementara tukang cukur dari Garut kebanyakan yang hadir di beberapa pinggir jalan, seperti di jalan Ceger Raya, adalah menyewa atau mengontrak ruang yang dibayar secara bergotong royong dengan rekannya. Kebanyakan satu ruang diisi dua tukang cukur. Peralatan cukurnya memang sederhana. Ruang cukur rada kotor dan tidak memperhatikan kebersihan. Karena tak ada AC, terasa ruang pengab.
Ada di antara tukang cukur ini, karena kekurangan modal, menggelar lapak di bawah pohon rindang. Berjalan di pasar tradisonal  sambil membawa alat cukur seperi kaca dan tas. Mereka ini memberlakukan tarif murah. Jika harga pasaran per kepala yang dicukur Rp15 ribu, untuk cukur di bawah pohon dikenakan tarif sekitaar Rp10 ribu. Murah, kan?
Bila para tikang cukur dari Garut ini ingin sukses, kuncinya adalah menjaga kebersihan. Selimut yang dipakai berulang-ulang dan sudah bau, baiknya disiapkan penggantinya. Hindari merokok kala sedang mencukur pelanggan.
Kelebihan tukang cukur asal Garut, yang hingga kini masih kuat melekat di kalangan pelanggannya, adalah memijit kepala pelanggan usai mencukurnya. Ini yang tidak dipunyai tukang cukur mana pun.
Mumpung tukang cukur asal Garut tengah "naik daun", sungguh elok mulai sekarang melakukan perbaikan dalam pelayanan. Siapa tahu kedepan banyak pemilik modal mengajak kerja sama. Muaranya, bukan tidak mustahil, cukur dengan orang Garut punya kesan pijitannya yang jempolan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H