Bila anda ingin akrab dengan warga Malaysia, ajaklah mereka bicara politik seputar Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, apa dan bagaimana proses pemilihan kepemimpinan di Tanah Air kita. Mendengar  Pilpres, telinga mereka akan seperti gas dalam tabung korek  dan menyambar  setelah pemantiknya mememercikan api.
"Negeri boleh beda, hati tetap di Tanah Air," kata Abang Nasuition, seorang sopir taksi yang mengantar penulis dari Pelabuhan Setulang menuju station bus Larkin, Pahang. Penulis berada di negeri bagian Malaysia itu dalam rangka mengisi liburan akhir tahun.
Penulis tak tahu nama lengkap pengemudi taksi ini. Namun ia lebih senang dipanggil Pak Nas atau Nasution. Hehehe seperti nama tokoh besar negeri kita, Abdul Harus Nasuiton seorang jenderal besar yang berasal dari Sumatera Utara.
Pak Nas yang mengaku sudah 40 tahun sebagai warga Malaysia selalu mengikuti politik di Tanah Air. Disebut, warga Indonesia yang fasih berbahasa Melayu tak pernah melupakan negeri kelahirannya. Termasuk suasana politik di dalam negerinya.Â
Pilpres, mulai tahap pencalonan hingga munculnya dua kekuatan: Prabowo -- Sandi yang berhadapan dengan petahana Jokowi -- KH Ma'ruf Amin, pemberitaanya diikuti melalui media massa.
Siaran televisi Malaysia, seperti juga disaksikan penulis, banyak menanyangkan pernyataan-pernyataan kedua kubu yang bersaing dalam Pilpres. Pak Nas menyaksikan, iklim demokrasi di Indonesia demikian maju. Bahkan dipandang kadang melebihi kepatutan. Disebut demikian, karena ada pernyataan yang dapat "membakar" hati rakyat. Â Ia tak menyebut hati rakyat yang mana tengah "terbakar".
Yang jelas ia khawatir pernyataan seperti itu bisa menimbulkan protes keras rakyat seperti yang terjadi di Malaysia, yaitu seperti pernyataan Perdana Menteri Malaysia Mahatir Muhammad menyebut akan mencabut hak istimewa ras Melayu. Pernyataan itu sungguh melukai para raja Melayu yang disusul demontrasi seperti di Pahang tempo lalu.
Nah, untuk di Tanah Air, seperti disebut Pak Nas itu, warga Malaysia yang masih punya ikatan emosional dengan tanah kelahirannya juga sering mendiskusikan pernyataan elit politik Indonesia di sejumlah kedai kopi di Pahang. Â Diskusi politik di Pahang tentang Pilpres sungguh menarik, baik dari kalangan akar rumput hingga pedagang kelas atas.
Fenomena itu sama seperti yang terjadi di Batam, Kepri. Jika anda punya urusan yang harus diselesaikan dengan elit politik, tak sulit untuk menjumpainya. Cukup datangi sejumlah kedai kopi yang berpenampilan keren hingga sederhana berada di pojok ruas jalan.
Nah, begitu juga di Pahang. Kala penulis masuk, mengucapkan salam, lalu diajak ngobrol. Pedangang kopi datang dan menawarkan minuman kopi, kopi o dan kopi susu. Â Atau teh tarik yang terkenal itu.
**
Memprediksi siapa yang bakal keluar sebagai pemenang dalam Pilpres 2019, umumnya perhitungan mereka yang unggul adalah pasangan nomor satu. Tapi itu disertai catatan, yaitu tidak mustahil bisa berubah kalau pasangan nomor dua tidak membuat kesalahan berulang yang kemudian disusul dengan permintaan maaf.
Permintaan maaf tidak selalu terdengar warga akar rumput karena rakyat di Indonesia belum seluruhnya melek media massa. Internet di Tanah Air tidak sebaik di Malaysia jaringannya. Siaran televisi berbayar juga tidak sebagus di sini.
Lagi pula, kata seorang peminum kopi di sebuah kedia, permintaan maaf itu belum tentu dapat pemaafan.
"Tak lah, rakyat menyatakan permintaan maafnya diterime," ucapnya.
Pernyataan apa saja yang ia pernah dengar dari elit politik dimaksud? Â Tak diterangkan secara jelas. Tapi, si peminum kopi itu memandang, perang kata-kata dalam Pilpres di Indonesia sudah mengarah kepada tahap "panas". Â Suasana tambah menjadi panas karena dibumbui dengan berita bohong (hoax). Di sisi lain polisi terlihat disibukan dengan penanganan kasus ini.
Kubu Prabowo hingga, di negeri ini, dianggap gemar mengeluarkan pernyataan mengejutkan dan kadang menakutkan. Mulai Indonesia bubar, Â soal tokang ojek dan teranyar adalah mundur dari Pilpres.
Ketua Badan Pemenangan Nasional (BPN) calon presiden dan wakil presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Djoko Santoso -- seperti dikutip dari Kompas.com, -- menyampaikan, Prabowo Subianto akan mengundurkan diri jika terdapat potensi kecurangan dalam Pilpres 2019.
Wiuh, Pilpres belum berlangsung sudah disebut-sebut ada kecurangan. Atau itu merupakan pernyataan sebagai antisipasi jika kubu itu kalah lalu tinggal menyebut ada kecurangan guna menutupi rasa malu.
Lepas dari hal itu semua, kita berharap, sejatinya Pilpres 2018 harus berlangsung dalam suasana Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia (Luber).
Pemilihan umum di Indonesia telah diadakan sebanyak 11 kali yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009 dan 2014. Bersamaan dengan Pilpres 2019 juga dilakukan pemilihan anggota legislatif secara serentak.
Dan sekedar mengingatkan, Pilpres dan pemilihan legisltif itu sayogianya  juga harus berlangsung dengan mengedepankan asas  "Jurdil" yaitu jurur dan adil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H