Peringatan Hari Ibu yang jatuh pada 22 Desember ini membikin hati penulis menjerit dan menangis. Dalam perjalanan ke Malaysia dari Hatyai, Thailand, sang cucu Al Fatih (5 tahun) bernyanyi dengan lirik menyinggung perasaan ibu.
Awalnya sih lagu yang dibawakan menggembirakan. Fatih bisa bernyanyi seperti yang diajarkan para gurunya di taman kanak-kanak, seperti balonku ada lima, cicak di dinding, dan buat apa susah dan seterusnya.
Nah, seingat penulis, ada lagu yang dinyanyikan yang syairnya diplesetkan. Lagu buat apa susah, yang kala penulis masih ikut Pramuka sering berulang-ulang dinyanyikan sambil membakar kayu, kemudian disebut api unggun, dibawakan Al Fatih dengan syair berbeda.
Kita ingat lagu itu ... buat apa susah... buat apa susah, susah itu tak ada gunanya.
Lalu dalam kesempatan lain oleh bocah Al Fatih dinyanyikan dengan  syair begini.... buat apa umi buat apa umi, umi itu tak ada gunanya.
Pada kesempatan berikutnya ia bernyanyi dengan syair, buat apa abi buat apa api abi itu tak ada gunanya. Lagi-lagi ia membawakan syair berbeda... buat  oma  buat apa oma, oma itu tak ada gunanya.
Hati siapa jika ia seorang ibu tak tersinggung. Untungnya, kita paham, bahwa yang bernyanyi itu seorang anak ingusan.
Tapi rasa sedih di hati sukar dihalau. Dan yang membuat jengkelnya lagi, Al Fatih menyanyikan lagu itu kala ia meminta sesuatu yang diinginkan tidak dikabulkan dalam sekejap. Misal mina es krim atau permainan.
Nah, kala permintaannya sudah terpenuhi, sang cucu mendekat dan manja. Kalimat yang meluncur dari mulutnya adalah kata-kata pujian. Umi cantik. Bunda disayang dan seterusnya.
Dan, kalau sudah begitu, penulis merenung. Apa kita ketika kecil juga punya kelakuan seperti bocah ini? Bisa jadi sama, cuma bentuk ungkapannya berbeda karena zaman old cara orang tua mendidik anak beragam dan berbeda-beda.
Mumpung Hari Ibu, para orang tua patut merenung, apa yang sudah diberikan kepada ibu yang telah melahirkan kita. Kita lihat para orang tua banyak dititipkan di pantai jompo, tidak pernah ditengok apa lagi memandikannya.
Ada ungkapan, seorang ibu mampu merawat 10 anak, tetapi 10 orang anak belum tentu mampu mengurus seorang ibu. Sungguh kelewatan, kan?
Hari Ibu, 22 Desember, ditetapkan Presiden Soekarno melalui Dekrit Presiden Nomor 316 tahun 1959. Pada tanggal tersebut pertama kalinya diselenggarakan Kongres Perempuan Indonesia di Yogyakarta pada 1928. Peristiwa ini kemudian dikenang sebagai perjuangan kaum perempuan.
Mengormati seorang ibu tidak harus berlebihan. Menyampaikan kata-kata santun dan memberi perhatian dengan membelikan selembar daster, apa lagi pakaian baru, sungguh mulia. Muliakanlah ibu sebagaimana ia menyayangi kita semasih kecil.
Dalam ajaran agama, mengirim doa kepada orang tua pun wajib. apakah ia telah wafat atau masih segar bugar. Â Karenanya, jangan buang kesempatan untuk memuliakan ibu. Jangan sampai anda dikatakan doa ibu sepanjang masa dan doa anak sepanjang galah.
Kasih ibu memang bagai sang surya.
Selamat Hari Ibu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H