Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Sosok Pilihan

Memusuhi Jurnalis Tak Bakal Untung

10 Desember 2018   20:08 Diperbarui: 10 Desember 2018   20:47 726
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jengkelnya Calon Presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto tehadap wartawan sudah di ubun-ubun. Lewat pidatonya di hadapan penyandang disabilitas, Prabowo malah blak-blakan mengecam pers yang diklaim sudah tak berimbang. Foto | Liputan-6

Tercium aroma pengurus PSSI ikut bermain atau mengatur di belakang layar agar final perserikatan tampil Tim Persib Bandung melawan PSMS Medan. Wartawan kasak-kusuk mencari tahu untuk mendapat kejelasan. Maklum, pertandingan tersebut selain dinantikan publik juga bakal menyedot penonton dalam jumlah banyak. Ujungnya, diduga, PSSI dapat meraup pendapatan besar dari hasil penjualan karcis.

Dugaan tersebut tak terbukti. Namun kecurigaan pers saat itu sempat membuat tegang hubungan insan pers dan pengurus PSSI. Lepas dari prasangka itu, di sini yang jelas, jurnalis (pers) telah memainkan perannya sebagai alat kontrol sehingga pengurus PSSI dapat dijauhkan dari dugaan yang bukan-bukan.

Final perserikatan, yang lupa tahun berapa terjadinya, ternyata terjadi sesuai prediksi publik. Itu sangat diharapkan, karena bagi pecinta sepakbola saat itu pertandingan tersebut dianggap sengat bergengsi dan jadi barometer kualitas sepakbola saat itu. Ditambahi lagi dengan semangat fanatisme daerah yang demikian kental.

Stadion Utama Senanyan, kini kembali namanya menjadi Stadion Gelora Bung Karno (GBK), penuh sesak. Kapasitas stadion ini diperkirakan hanya 100 ribu penonton. Tapi, awak media memperkirakan jumlah penonton mencapai 110 ribu orang. Membludak. Bisa jadi, banyak di antara penonton masuk ke stadion dengan tiket palsu.

Usai pertandingan, ruas Jalan Sudirman hingga Thamrin jalan penuh sesak dengan pejalan kaki. Mobil pribadi tak bisa keluar stadion. Penulis sendiri untuk mencapai kantor di Merdeka Selatan harus berjalan kaki. Wuih capeknya.

Yang menarik, ketika menulis berita dengan menyebut jumlah penonton di atas 110 ribu lebih dipertanyakan oleh redaktur. Lantaran merasa lelah, penulis menjawab sekenanya. Jika tak percaya dengan reporter, ya hitung sendiri.

Beruntung sang redaktur tidak marah. Ia mempercayai perkiraan reporter yang memang sudah terbiasa meliput pertandingan sepakbola.

"Lo hitung sendiri, deh?"

**

Belakangan ini ramai dibicarakan media massa ada yang menyebut jumlah peserta reuni 212 mencapai delapan juta orang, lebih banyak dibandingkan aksi dua tahun sebelumnya. Tapi, ada yang menyebut 100 ribu orang. Sekitar 23.000 aparat diterjunkan mengamankan acara tersebut.

Soal angka yang diberitakan media massa itu kemudian dipermasalahkan. Bahkan memunculkan rasa tidak senang cawapres 02 Prabowo Subianto. Sebutnya, media massa di Indonesia telah memanipulasi demokrasi.

Tentu saja, ucapan Prabowo tak sampai di situ saja. Tapi yang jelas pernyataannya telah melukai perasaan awak media dan menuai kecaman.

Pandangan penulis, liputan pers pada aksi reuni itu cukup proporsional. Pers tetap menempatkan pemberitaannya berimbang. Sayangnya, momentum itu tak dimanfaatkan para elite aksi untuk memanfaatkan media. Misal memberi pernyataan poin-poin yang dicapai pada aksi itu dan menyampaikan ucapan simpatik kepada awak media yang telah meliputnya.

Bagaimana kalau Prabowo dijawab oleh awak media dan disuruh menghitung jumlah peserta sendiri. Bisa jadi, tambah blepotan. Ia bakal tambah tersinggung dan sesuai wataknya akan memaki awak media.

Prabowo seolah mengibarkan rasa permusuhan kepada awak media. Karena ucapan itu, boleh jadi aksi tersebut akan meninggalkan bekas luka di benak awak media. Paling tidak, kedepan akan muncul suara: "Sudah bagus diliput. Tahun depan, untuk meliput lagi, pikir-pikir dulu deh?"

Karenanya, sungguh tidak salah jika Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi - Ma'ruf, Abdul Kadir Karding, menyebut agar awak media untuk berhati-hati apabila Prabowo Subianto menjadi presiden pada pilpres 2019 mendatang.

"Baru saja calon sudah memusuhi pers. Saya menduga kalau sudah berkuasa, pers dibredel. Hati-hati teman-teman pers itu," kata Karding.

Pernyataan Karding itu memang patut dicatat. Terlebih jika dibuka lembaran masa lalu. Pers nasional punya pengalaman buruk, pernah dibredel. Tentu saja pikiran para jurnalis dibawa ke zaman otoriter ketika Soeharo, mertua Prabowo Subianto, berkuasa. Kala itu awak media merasakan sakitnya kebebasan berpendapat dibungkem.

**

Mempersoalkan besaran jumlah peserta aksi atau pun penonton yang diungkap pers, sesungguhnya bukan sekali ini saja terjadi. Sejak zaman "bahuela" sudah terjadi. Siapa yang bisa tahu secara persis jumlah penonton final Persib vs PSMS? Siapa yang bisa menyebut secara tepat jumlah peserta aksi 212 belum lama ini?

Apa pun yang disampaikan reporter dari lapangan, sesuai dengan kewenangannya, redaktur wajib mempermasalahkannya. Tujuannya, agar kepercayaan kepada publik dapat terjaga. Di sini, kerja pers sudah berjalan sesuai prosedur. Lantas, mengapa awak media harus dimusuhi hanya soal sepele?

Kini perkembangan pers, sebagai institusi pemberitaan, berjalan demikian dinamis. Masing-masing perusahaan media menunjukan jati dirinya kepada publik dengan segmen khusus misalnya sebagai media berita, media hiburan (entertainment), iklan melulu sampai konten ceramah agama. Atau kombinasi pesan yang disampaikan kepada khalayak luas.

Media yang mengusung portel web pun makin agresif. Belakangan ini sudah melengkapi dirinya dengan konten video disamping berita terkini yang makin cepat dan lengkap, dapat dilihat oleh publik sejauh jaringan internet tersedia, kapan dan dimana pun.

Saya pikir tim juru bicara Prabowo tahu pers kerja pers. Bahwa setiap media massa memiliki segmen masing-masing. Karena itu kebijakan redaksinya pun berbeda-beda dalam menggarap suatu berita. Pertanyaannya, apakah Pak Prabowo yang kita hormati itu tidak diberi masukan?

Saya sangat gembira bahwa kini makin tumbuh kesadaran bahwa kewajiban bagi setiap redaktur adalah melengkapi data, menambahkan keterangan atau penjelasan jika kedapatan berita yang masuk wilayah garapannya masih belum baik.

Redaktur wajib mempercantik, melengkapi keterangan sehingga berita yang dipasok makin jelas, jernih dan pemirsa atau pembaca memperoleh informasi lengkap. Hal ini menjadi penting lantaran persaingan antarmedia online makin ketat. Jangan dipusingkan lagi adanya ancaman redaktur tugasnya tergusur karena kehadiran media sosial makin banyak.

Publik pun harus memahami bahwa interpretasi yang ditangkap seorang terhadap setiap peristiwa bisa berbeda-beda. Misal, kasus humor dari seorang pelawak yang tampil di layar kaca atau televisi bisa mengajak banyak orang tertawa. Namun latar belakang yang menyebabkan lahirnya tawa pada setiap orang pada suguhan banyolan pelawak itu berbeda-beda.

Bisa pula soal jumlah pengungkapan peserta aksi 212 yang dipermasalahkan itu.   

Pers itu ibarat pedang bermata dua. Maka, pandai-pandailah memainkannya. Jika belum bisa memainkan pedang, apa salahnya berbaik hati dengan awak media guna memenangkan pertandingan.

Dalam sejarahnya, pers tak pernah kalah dengan penguasa karena ia terus memperjuangkan kemerdekaannya. Dan, kemerdekaan pers yang ada sekarang adalah hasil perjuangan. Bukan datang dari langit.

Sejarah pun mencatat, Kaisar Napoleon mengakui kepiawaian pers untuk memenangkan pertempuran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun