Jangan berharap tulisan kita akan menjadi berita utama (headline) jika Sihol tengah ditunjuk sebagai redaktur. Jangan pula mengemis beritanya cepat tayang lantas diberi tanda khusus, sehingga si pewarta tidak mendapat tambahan honor dari berita yang ditulisnya.
Tanda khusus dan headline bagi seorang pewarta menjadi hal penting. Sebab, itu merupakan poin yang jika dikumpulkan memiliki nilai tambah selain gaji tetap setiap bulan. Sedikit demi sedikit poin yang dikumpulkan akan menggunung, berujung pada pendapatan yang menggembirakan bagi si pewarta.
Karenanya, pewarta harus baik-baik dengan si redaktur. Sedihnya, ketika bertugas menemui si redaktur kikir, medit bin bahil. Apa lagi si redakturnya punya sikap dendam karena ketika dinas malam tidak dibawakan kue pancong atau roti gambang kesukaannya, seperti redaktur senior Sihol itu.
"Hmmm, susah juga sih merayunya. Diberi makanan cepat saji dia tidak suka, maunya hanya kue pancong yang makin sulit dijumpai di sekeliling kantor," Jabrik melontarkan keluhan kepada teman semeja, yang sama-sama banyak meliput acara olahraga.
"Dia itu, eR-Be-Te paling kejam," Kohar menimpali celoteh Jabrik, sapaan akrab Jaja Birik.
"Apaan tuh, eR-Be-Te. Lu jangan bikin singkatan aneh-aneh."
"Nggak aneh. Memasyarakatkan eR-Be-Te juga sama dengan memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat. Itu singkatan dari Redaktur Banting Tulang. Inget, tuh!" Kohar menjelaskan yang disambut tawa riang si Jabrik.
Di tengah mempersiapkan artikel, Jabrik jadi ingat dengan sebutan eR-Be-Te kala meliput pertandingan sepakbola di Medan. Di sana ada motor becak yang di kalangan warga setempat disebut juga eR-Be-Te singkatan dari Rakyat Banting Tulang.
Tapi, biarlah singkatan itu juga disematkan kepada para redaktur di sini. Hanya harapan Jabrik, redaktur itu sayogianya jangan pelit memberi poin dari berita yang dibuat. Sebab, dari sisi aktualitas sudah terpenuhi, dari sisi kemungkinan salah ketik sudah dihindari, dari sisi kecepatan sudah diupayakan. Beritanya juga tidak kalah penting dengan berita lainnya. Apa lagi di ranah publik tengah dibicarakan banyak orang.
Sayogiayanya Sihol, sebagai redaktur yang sudah makan asam garam, mengerti tentang ini. Lagi pula buku panduan redaktur sudah ia memiliki.
Buku panduan atau pedoman membuat berita yang bagus, sesuai dengan langgam atau gaya bahasa yang baik dan benar telah diterbitkan oleh dewan redaksi. Â Semua manusia yang terlibat di redaksi dianggap sudah memahami, karena sosialisasinya cukup lama.
"Sihol pasti paham, tentu?" pikir si Jabrik.
Tapi, mengapa kepada para pewarta ia berbuat kikir untuk memberikan poin. Hal ini yang membuat dirinya kesal ketika menjumpai si redaktur banting tulang seperti disebut Kohar tadi. Kalau diberi kue pancong, pasti diberi poin bagus. Nggak ada kue pancong, nilai jeblok.
"Mau apa si Sihol ini," Jabrik mengeluh.
**
Aturan kerja di media massa beragam. Stilistik yang dibuat pimpinan redaksi dengan dukungan dewan redaksinya pun tidak selalu sama. Namun ada prinsip yang tidak boleh diabaikan. Yaitu, berita harus faktual, aktual, seimbang, penting dan lengkap memenuhi unsur 5 W dan 1 H.
"Saya tak akan menjelaskan soal buku panduan. Sebab, para pewarta sudah masuk diklat, kan?" kata Sihol dalam suatu kesempatan di hadapan para redaktur senior lainnya.
Hari itu, dewan redaksi tengah menggelar rapat. Membahas agenda setting, termasuk membahas keluhan para pewarta yang tidak mendapat apresiasi ketika mereka kerja. Tentu saja masalahnya melebar kepada redaktur Sihol, redaktur banting tulang yang kikir bin bahil itu.
Sihol dimintai penjelasannya prihal tidak memberi poin kepada pewarta ketika hasil karyanya hendak ditayangkan.
Dengan enteng, Sihol menjawab, para pewarta kita sekarang bekerja tidak memperhatikan unsur seimbang dalam artikelnya. Itu satu hal yang perlu dibahas lebih lanjut. Hal lain, tidak memperhatikan unsur sekuriti, keamanan, kebebasan dari bahaya yang kemungkinan timbul dari artikelnya.
Meski sekarang sudah memasuki era reformasi, tetapi siapa yang dapat menjamin ketika pemilik modal melakukan somasi kepada media massa. Kita bergantung pada iklan yang masuk, kita juga masih minta  belas kasihan dari petinggi negeri. Tanpa itu, jurnalis jenis apa yang dimaui.
Kita pun sudah mengerti tentang Enpat Teori Pers. Setiap negeri punya sejarahnya masing-masing. Yang jelas, posisinya sampai saat ini masih menjadi redaktur banting tulang. Masih harus berjuang. Â Kemerdekaan pers itu tidak datang dari langit. Ya, harus diperjuangkan.
"Itu alasannya!" Sihol menyudahi celotehnya.
"Tapi, ya ingat juga. Redaktur itu juga manusia?" Sihol menambahkan penjelasannya. Ia kemudian berdiri dan beranjak meninggalkan ruang rapat. Ia hendak pulang karena semalam begadang menjadi redaktur banting tulang.
Para redaktur senior yang ikut rapat memahami rasa letih yang mendera Sihol. Juga memahami sikap Sihol yang selalu kikir terhadap para pewarta untuk memberikan poin. Kalau ada yang memberi kue pancong, si pewarta diberi poin. Jika tidak disuap kue pancong atau roti gambang kesukaannya, jangan harap dapat poin.
Lantas, rapat dewan redaksi memutuskan bahwa untuk jajaran redaksi yang bekerja malam hari harus diberi makanan kecil atau snack dan kopi. Bagusnya, saran seorang pewarta, makanan itu berupa kue pancong atau roti gambang seperti yang disukai Sihol, redaktur banting tulang yang selama ini dikenal kikir.
Kita memang harus manusiawi, ungkap seorang redaktur senior kepada rekan kerja yang lain. Bekerja malam itu berat. Redaktur juga manusia, tak dapat dipaksa terus menerus seperti mesin. Ia pun tak luput dari kesalahan. Dengan kuasanya, ia bisa menaikan status berita menjadi headline, pilihan atau mencabutnya dengan seketika. Ia bisa menjadi sosok malaikat. Suka-suka dialah, karena hari itu tengah berkuasa dan menjalankan roda organisasi keredaksian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H