"Itu alasannya!" Sihol menyudahi celotehnya.
"Tapi, ya ingat juga. Redaktur itu juga manusia?" Sihol menambahkan penjelasannya. Ia kemudian berdiri dan beranjak meninggalkan ruang rapat. Ia hendak pulang karena semalam begadang menjadi redaktur banting tulang.
Para redaktur senior yang ikut rapat memahami rasa letih yang mendera Sihol. Juga memahami sikap Sihol yang selalu kikir terhadap para pewarta untuk memberikan poin. Kalau ada yang memberi kue pancong, si pewarta diberi poin. Jika tidak disuap kue pancong atau roti gambang kesukaannya, jangan harap dapat poin.
Lantas, rapat dewan redaksi memutuskan bahwa untuk jajaran redaksi yang bekerja malam hari harus diberi makanan kecil atau snack dan kopi. Bagusnya, saran seorang pewarta, makanan itu berupa kue pancong atau roti gambang seperti yang disukai Sihol, redaktur banting tulang yang selama ini dikenal kikir.
Kita memang harus manusiawi, ungkap seorang redaktur senior kepada rekan kerja yang lain. Bekerja malam itu berat. Redaktur juga manusia, tak dapat dipaksa terus menerus seperti mesin. Ia pun tak luput dari kesalahan. Dengan kuasanya, ia bisa menaikan status berita menjadi headline, pilihan atau mencabutnya dengan seketika. Ia bisa menjadi sosok malaikat. Suka-suka dialah, karena hari itu tengah berkuasa dan menjalankan roda organisasi keredaksian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H