Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Anak Pemulung Juga Pantas Disematkan Gelar Pahlawan

11 November 2018   08:02 Diperbarui: 11 November 2018   08:33 508
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dua anak pemulung usai belajar bersama relawan. Foto | Dokpri

Anak pemulung juga punya hak disematkan gelar pahlawan. Alasannya, karena dengan segala keterbatasan yang dimiliki, para anak usia sekolah itu berjuang untuk meningkatkan derajat hidupnya. Mereka berupaya mengubah diri dari keterbelakangan: ekonomi, sosial dan budaya di tengah bau busuk sampah.

Dipandang kasat mata dan kehidupan normal, menjalani hidup demikian yang dilakoni para anak pemulung sehari-hari tentu saja bagi setiap orang belum tentu mampu dilakukan. Anak pemulung memiliki daya juang tinggi di zaman kemerdekaan ini.

Tidak lagi takut untuk belajar. Foto | Dokpri
Tidak lagi takut untuk belajar. Foto | Dokpri
Sampah, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah barang atau benda yang dibuang karena tidak terpakai lagi dan sebagainya; kotoran seperti daun, kertas. Sampah juga bermakna sebagai hina.

Hidup sebagai gelandangan dianggap hina di tengah masyarakat. Tentu saja, orang yang hina biasanya tidak diindahkan orang banyak. Masyarakat gelandangan (pengemis dan sebagainya); orang-orang yang dianggap tidak berguna bagi masyarakat; sampah masyarakat.

Tentu saja, jika mengikuti alur pikir perumus dan pembuat definisi kata pada kamus tersebut, maka anak para pemulung, seperti di kawasan Bantar Gebang, termasuk golongan orang hina. Sementara dari sisi hak asasi, mereka punya hak untuk mendapatkan pendidikan dan layanan kesehatan sebagaimana anak-anak yang hidup normal di bawah asuhan orang tuanya yang berkemampuan secara ekonomis.

Kalau saja anak pemulung tahu bahwa menjadi pemulung itu hina, maka bila boleh memilih lahir dari rahim siapa dan negeri mana, maka sejak proses jadi manusia di dalam kandungan akan meminta lahir di negeri makmur dan orang tua yang kaya. Tapi, Tuhan berkehendak lain.

Sungguh disayangkan. Belakangan ini aspek ekonomi dari sampah di kawasan itu jauh lebih tinggi dapat perhatian daripada nasib manusia yang mengurusi sampah. Pemulung dan anggota keluarga yang mencari nafkah di beberapa bukit sampah Bantar Gebang masih banyak dipandang sebelah mata. Ya, orang hina.

Dua anak pemulung usai belajar bersama relawan. Foto | Dokpri
Dua anak pemulung usai belajar bersama relawan. Foto | Dokpri
Boleh lihat, sampah kadang menjadi sengketa. Bukan sekali atau dua kali saja Pemerintah Kota Bekasi kembali bersitegang dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengenai sampah di Bantar Gebang.

Hubungan kedua pemda jika digambarkan seperti orang yang tengah mengalami tensi tinggi. Kadang turun, bermanis-manis. Karena itu, tidak berlebihan jika Pengamat Tata Kota Universitas Trisakti, Nirwono Joga menilai bahwa penanganan sampah dari DKI di penampungan Bantar Gebang hanya sebatas proyek (nilainya cukup besar).

Untuk kawasan penimbunan sampah ini, penulis pernah bertandang dan menjumpai anak-anak pemulung. Sedikit catatan bahwa di kawasan tersebut bermukim warga yang berasal dari Karawang, Indramayu, Banten, Sumatera Selatan dan paling banyak berasal dari Madura. Diperkirakan ada 3 ribu kepala keluarga (KK) dan 156 di antaranya berasal dari sekitar Sumur Batu, Bekasi.

Alumni FH'20 Usakti berfoto bersama. Foto | Dokpri
Alumni FH'20 Usakti berfoto bersama. Foto | Dokpri
Mereka itu bermukim di rumah terbuat dari tiang bambu, beratapkan seng dan terpal butut, berdinding tripek bekas. Kadang terdengar mereka bertegur sapa dengan suara keras menggunakan bahasa daerah. Nampak kegembiraan warga dengan pakaian dekil, koyak dan memelas masih nampak di lingkungan kumuh dengan bau seribu satu macam itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun