Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Anomali Politik Mulai Ganggu Keharmonisan Keluarga

7 November 2018   23:10 Diperbarui: 8 November 2018   05:19 599
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi, keluarga harmonis. Foto | Intisarionline

Jangan tumpangi kapal bocor. Jangan juga naik pesawat dari maskapai nakal, manajemennya amburadul dan pilot mabuk. Jangan naik bus bobrok, apa lagi kalau yang nyopir ugal-ugalan dan sering mengonsumsi narkoba, juga jangan naik kereta rusak dengan masinis bermata rabun karena membahayakan penumpang.

Jadi, naik kendaraan itu harus perhatikan kendaraan dari transportasi itu sendiri, juga manusia dibelakangnya. Dan, hal serupa juga berlaku dalam dunia politik. Jangan pilih elite politik tak memiliki visi dan misi bagi kemajuan bangsa. Jangan pilih pemimpin ikar janji. Karena itu, pernyataan di atas bagusnya jadi pegangan bagi para pemilih pada Pilpres 2019.

Nah, sekaitan dengan urusan pilihan politik memang terserah pilihan pribadi. Tapi penting diperhatikan petuah orang tua tadi. Jangan tumpangi kapal bocor, kendaraan begini dan begitu. Tidak profesional jalankan kendaraan bakal menuai musibah. Selain perjalanan tidak mulus, pun dapat berakibat fatal ke depannya.

Politik itu dinamis. Seketika bisa berubah. Perubahan yang bagaimana terjadi, kini makin sulit diprediksi lantaran para elite politik bermain di bawah permukaan air, di sebelah kamar atau diam-diam mengunci kamar agar pihak lawan tidak tahu saat membawa kardus entah apa isinya.

Publik kini makin sulit memprediksi dinamika politik. Ke arah timur kala matahari terbenam, atau berubah saat matahari di timur. Terbit dan terbenamnya matahari dapat diprediksi karena itu merupakan sunatullah. Tapi apa yang terjadi dalam dunia politik bersamaan dengan perubahan waktu itu. Hanya Tuhan dan para elite politik itu sendirilah yang tahu kala mereka jadi aktornya.

Kapal bocor kala berlayar pasti membahayakan penumpang. Namun penumpang tak akan tahu jika tak ada informasi dari pihak otoritas. Andai saja tahu kapal yang akan membawanya bocor, maka para penumpang menghindar dan membatalkan untuk menggunakannya meski batal mencapai tujuan.

Nah, karena dinamika politik yang makin sulit diprediksi itu, seorang juragan dan pengusaha beken dari Kampung Terate, di Kawasan Banten, Tuan Basri merasa penting menginformasikan tentang kapal politik bocor kepada anggota keluarganya. Maksudnya, agar kelak tidak salah pilh mana elite politik berintegritas dan punya komitmen memajukan bangsa, dan terhindar menjatuhkan pilihan kepada elite politik pembual atau pembual politik.

"Sekarang, tahapan Pilpres 2019 sudah berjalan. Ingat ya, jangan tumpangi kapal bocor. Biar saja ada penumpang gelap di situ. Penting bagi kita, jangan terbawa kapal bocor, Bisa rugikan diri sendiri dan tak selamat dalam perjalanan," Tuan Basri menasihati istri dan anak semata wayangnya.

Lestari, sang istri menimpali penjelasan sang suami. Katanya, di era reformasi tak perlu ada intervensi dalam pilihan politik. Ukuran bahwa kapal politik di sana bocor, tidak memiliki sumber daya manusia mumpuni atau berintegritas, katanya, itu soal lain. Yang penting hak politik seseorang tidak boleh direnggut.

Jadi, soal pilihan, jelek atau bagus tentang elite partai politik serahkan saja ke pasar. Siapa mau beli, tinggal pilih yang mana saja sesuai selera. Memang bagusnya menghindari kapal politik bocor, hindari elite politik pembual dan amoral. Tapi, penting dijawab, bukankah warga sekarang sudah cerdas. Ibarat anak, pemilih itu sudah aqil balik. Dewasa dan cerdas.

Mendengar keterangan sang istri dengan ocehan bagai orang tengah berorasi, Tuan Basri terdiam. Tak berkutik. Mati kutu.

Terlebih putranya, Bagas, menimpali dengan pernyataan bahwa dalam kondisi politik yang anomali terpenting diperhatikan proses terjadinya perubahan itu. Di situ harus ditelitik siapa yang membawa visi dan misi bagi kesejahteraan rakyat dan elite politik mana yang hana bercuap-cuap.

Sebab, sekarang ini para elite politik tengah memetakan wilayah mana saja tergolong abu-abu dan wilayah mana saja yang sudah menjatuhkan pilihan. Dari situ, elite bermanuver. Bila perlu memainkan politik uang.

"Anomali politik itu mirip, atau sama dengan anomali cuaca. Ayah harus paham, memasuki musim hujan, cuaca kadang tidak bisa diprediksi. Hujan disertai petir, kadang hujan lebat disertai angin kuat. Gitu," ujar Bagas penuh semangat.

"Ayah jangan khawatir, peta itu sudah ada. Lihat saja permainan elite nanti, bagai semut hitam bekerja di malam gelap dan sunyi," Bagas mengingatkan orang tuanya.

Lantas, ibu dan anak itu berpelukan. Tuan Basri terlihat bangga menyaksikan kecerdasan istri dan anak dalam menyikapi dinamika politik yang terkini.

"Ayah merasa patut bertanya mengapa tiba-tiba mengingatkan soal dinamika politik yang kini terjadi? Itu tak lain karena rasa khawatir diri kita dipermainkan para elite. Bukankah suara rakyat itu adalah suara Tuhan, ikut menentukan perjalanan bangsa?" Tuan Basri mengingatkan.

Dijelaskan, soal pilihan tentu sepakat menjadi hak masing-masing. Dan kita beruntung perbedaan dalam pilihan tidak menyebabkan suasana harmonis keluarga menjadi terganggu.

"Tidak seperti keluarga sebelah. Lihat, hanya perbedaan pilihan politik, isteri menggugat suami. Isteri minta bercerai. Malu, kan? " Tuan Basri berjalan ke luar sambil menunjuk ke arah rumah tetangganya.

"Iya, keluarga teman kuliah saya juga bercerai. Dengarnya, suaminya berselingkuh dengan sekretaris partai. Gara-gara tak didukung aktivitas suaminya," kata Bagas tiba-tiba dengan suara keras.

Dan, mendengar ucapan Bagas Seperti itu, Tuan Basri membalikan badan ke arah belakang. Sang ayah melempar senyum dan menggelengkan kepala.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun