Jangan tumpangi kapal bocor. Jangan juga naik pesawat dari maskapai nakal, manajemennya amburadul dan pilot mabuk. Jangan naik bus bobrok, apa lagi kalau yang nyopir ugal-ugalan dan sering mengonsumsi narkoba, juga jangan naik kereta rusak dengan masinis bermata rabun karena membahayakan penumpang.
Jadi, naik kendaraan itu harus perhatikan kendaraan dari transportasi itu sendiri, juga manusia dibelakangnya. Dan, hal serupa juga berlaku dalam dunia politik. Jangan pilih elite politik tak memiliki visi dan misi bagi kemajuan bangsa. Jangan pilih pemimpin ikar janji. Karena itu, pernyataan di atas bagusnya jadi pegangan bagi para pemilih pada Pilpres 2019.
Nah, sekaitan dengan urusan pilihan politik memang terserah pilihan pribadi. Tapi penting diperhatikan petuah orang tua tadi. Jangan tumpangi kapal bocor, kendaraan begini dan begitu. Tidak profesional jalankan kendaraan bakal menuai musibah. Selain perjalanan tidak mulus, pun dapat berakibat fatal ke depannya.
Politik itu dinamis. Seketika bisa berubah. Perubahan yang bagaimana terjadi, kini makin sulit diprediksi lantaran para elite politik bermain di bawah permukaan air, di sebelah kamar atau diam-diam mengunci kamar agar pihak lawan tidak tahu saat membawa kardus entah apa isinya.
Publik kini makin sulit memprediksi dinamika politik. Ke arah timur kala matahari terbenam, atau berubah saat matahari di timur. Terbit dan terbenamnya matahari dapat diprediksi karena itu merupakan sunatullah. Tapi apa yang terjadi dalam dunia politik bersamaan dengan perubahan waktu itu. Hanya Tuhan dan para elite politik itu sendirilah yang tahu kala mereka jadi aktornya.
Kapal bocor kala berlayar pasti membahayakan penumpang. Namun penumpang tak akan tahu jika tak ada informasi dari pihak otoritas. Andai saja tahu kapal yang akan membawanya bocor, maka para penumpang menghindar dan membatalkan untuk menggunakannya meski batal mencapai tujuan.
Nah, karena dinamika politik yang makin sulit diprediksi itu, seorang juragan dan pengusaha beken dari Kampung Terate, di Kawasan Banten, Tuan Basri merasa penting menginformasikan tentang kapal politik bocor kepada anggota keluarganya. Maksudnya, agar kelak tidak salah pilh mana elite politik berintegritas dan punya komitmen memajukan bangsa, dan terhindar menjatuhkan pilihan kepada elite politik pembual atau pembual politik.
"Sekarang, tahapan Pilpres 2019 sudah berjalan. Ingat ya, jangan tumpangi kapal bocor. Biar saja ada penumpang gelap di situ. Penting bagi kita, jangan terbawa kapal bocor, Bisa rugikan diri sendiri dan tak selamat dalam perjalanan," Tuan Basri menasihati istri dan anak semata wayangnya.
Lestari, sang istri menimpali penjelasan sang suami. Katanya, di era reformasi tak perlu ada intervensi dalam pilihan politik. Ukuran bahwa kapal politik di sana bocor, tidak memiliki sumber daya manusia mumpuni atau berintegritas, katanya, itu soal lain. Yang penting hak politik seseorang tidak boleh direnggut.
Jadi, soal pilihan, jelek atau bagus tentang elite partai politik serahkan saja ke pasar. Siapa mau beli, tinggal pilih yang mana saja sesuai selera. Memang bagusnya menghindari kapal politik bocor, hindari elite politik pembual dan amoral. Tapi, penting dijawab, bukankah warga sekarang sudah cerdas. Ibarat anak, pemilih itu sudah aqil balik. Dewasa dan cerdas.
Mendengar keterangan sang istri dengan ocehan bagai orang tengah berorasi, Tuan Basri terdiam. Tak berkutik. Mati kutu.