Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Dialek Betawi "Ogah" Tersisih

25 Oktober 2018   05:55 Diperbarui: 25 Oktober 2018   11:32 1005
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kekhawatiran bahwa dialek Betawi akan tersisih akan terjadi, bahkan tercabut dari Ibukota Jakarta potensinya makin besar. Namun harus dimaklumi lebih dahulu bahwa Bahasa Betawi itu adalah dialek dari areal Bahasa Melayu.

Bahasa Betawi, yang diklaim sebagian warganya sebagai bahasa etnis bersangkutan, senyatanya bukanlah bahasa mandiri seperti Bahasa Jawa, Sunda, Bugis, Banjar, Padang dan seterusnya.

Karena merupakan salah satu dialek areal dari Bahasa Melayu umum atau Bahasa Indonesia, maka banyak ungkapan dijumpai dalam Bahasa Melayu atau Bahasa Indonesia. Perbedaannya, yang menonjol adalah pada lafal Bahasa Betawi.

Misal, lafal huruf a diganti e (baca ember, misalnya). Tetapi tidak semua kata dapat dipaksakan dilafalkan dengan e. Seperti kalimat tanya: "Apa-apaan lu?" Tidak diubah menjadi "ape-apean lu".

Saya lebih suka menggunakan dialek Betawi, bukan bahasa Betawi. Alasannya, karena kata-kata dari Betawi itu kebanyakan digunakan oleh penuturnya - orang Betawi - untuk percakapan keseharian. Untuk bahasa lisan saja, bahasa percakapan tetapi tidak pada bahasa tertulis formal.

Enyak saya, Nyai Emah, dari sejak lahir zaman penjajahan Jepang, tidak pernah berkirim surat atau setidaknya menulis surat dengan Bahasa Betawi. Ia pun tak bisa membedakan cara menulis ember rombeng, dengan kata e (empat). Sebab, huruf e untuk (ember) dan e pada kata (empat) secara fisik sama. Hanya pada pelafalannya saja.

Dulu, ada mesin ketik untuk menulis kata ember ada tanda garis tipis di atas huruf e. Sekarang, tanda garis miring di atas huruf tersebut sudah tidak ada lagi.

Tetapi, Enyak, ketika bercakap-cakap dengan anak-anaknya, wah keliwat medog dialek Betawinya. Sungguh demikian, terasa jenaka. Sebab, jika didengarkan secara seksama, bicaranya selalu dengan nada tinggi disertai bahasas tubuhnya.

Kata orang banyak, kalau lagi bicara demikian, ia seperti asal nyablak. Bicaranya lepas, nyeplas-nyeplos. Nah, jika sudah demikian, anak-anaknya menggoda dengan satu harapan sang Enyak terhibur dengan dirinya sendiri, dengan kata-kata yang meluncur terasa lucu juga bagi orang terdekat.

"Lu, pade, kalo masuk rumah harus ucap salam. Jangan nibra, jaro udah reot kalo ditaekin," katanya.

"Lagian, udah bangkotan masih aje nggak sopan. Lu ngaji dimane, pesantren mane. Nggak nyantren di kulon sono," kata Enyak sambil menunjuk-nunjuk hidung lawan bicaranya.

Tentu saja Enyak makin semangat. Bicara dengan dialek Betawi si Enyak memang kudu ada lawannya. Nah, karena dia tidak punyak mitra, atau paling tidak orang sebayanya, maka pembicaraan terasa tak seimbang.

Enyak Emah akhirnya sadar. Anak-anaknya tak mahir berdialek menggunakan Bahasa Betawi. Pikirnya, anak sekolah sekarang makin intelek tetapi mulutnya terkunci ketika berhadapan dengan orang Betawi.

"Nggak mau ngangap, mengucap dan ngoceh dengan Enyaknya pake Bahasa Betawi," ucapnya yang disambut tawa anak-anaknya.

**

Dialek Betawi, bila dicermati, banyak kata-katanya menyerap dari Bahasa Arab seperti kata ane (ana), Cina seperti untuk penyebutan tauco dan masih banyak lagi. Termasuk pula dari etnis Sunda, Jawa dan Kalimantan. Di Sambas (Kalbar), dialek Betawi mirip sekali dengan yang banyak dituturkan warga setempat.

Pernah, penulis tertawa ngakak ketika menjumpai warga Betawi di kawasan Kota Bambu, dekat Tanah Abang, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu.

Pasalnya, si Empo' Ani, bukan nama sebenarnya, tengah marah karena sang adiknya sering mabok-mabokan. Jika sang adik bisnisnya beroleh untung, bisa dipastikan banyak keluyuran malam ke diskotik.

Si Empo' hafal sekali kalau adiknya naik motor kejeblos got, comberan atau drainase, pasti baru pulang dari diskotik. Beruntung, Mamat, si abangnya sabar dan menolong ketika sang adik tengah mengalami kesulitan seperti itu.

"Gitulah, kalau dapat duit panas," kata Empo' Ani kepada Bang Mamat suatu saat.

**

"Duit panas emang beda dengan uang lender, uang mengawinkan kambing. Juga beda dengan duit salawat (uang yang diberikan oleh para pelayat saat orang meninggal). Juga beda lagi dengan orang mata duitan," kata si Empok.

"Gue sih ogah kalo dapat uduit panas. Lagian gue juga nggak mata duitan, kan?" ucapnya yang disambut si Mamat manggut-manggut.

Di kawasan Kecamatan Pakuhaji, yang merupakan daerah hasil dari pemekaran Kecamatan Sepatan, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten, penulis menjumpai penutur Bahasa Betawi.

Di sini, warga dalam dialegnya, tidak menyebut dirinya aye, gue, elu. Tetapi lebih banyak dengan kata-kata guah. Hal serupa juga terjadi di sebagian wilayah Tambun, Bekasi.

"Guah nggak mau nyebrang ke Bulak Kapal. Guah maunya netep di Keranji," kata seorang penutur dialek Betawi di Keranji.

Lucunya, diajak naik mobil ber-AC menolak tetapi bersedia kalau naik mobil dengan bak terbuka.

"Embung ah. Guah sukanya bonceng motor. Biar nggak mabok," kata seorang penutur di Sepatan, Tangerang, Banten.

"Kalau naek mobil AC mabok. Ogah ah!"

Pengguna dialek Betawi kini makin tersisih. Kalaupun ada upaya dari Pemda DKI Jakarta untuk melestarikannya, hal itu tidak cukup menetapkan satu wilayah sebagai kawasan budaya setempat. Sebab, para penuturnya kini makin bergeser ke daerah pinggiran Jakarta, seperti ke Tangerang, Bekasi dan Bogor.

Perpindahan warga ini adalah alamiah yang lebih banyak disebabkan faktor ekonomi.

"Embung pindah, ya digusur paksa. Ogah ngacir, bisa jadi nyari keidupan tambah sulit," cerita si Mamat mengenai cerai-berainya warga Betawi berpidah-pindah ke berbagai wilayah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun