"Gue sih ogah kalo dapat uduit panas. Lagian gue juga nggak mata duitan, kan?" ucapnya yang disambut si Mamat manggut-manggut.
Di kawasan Kecamatan Pakuhaji, yang merupakan daerah hasil dari pemekaran Kecamatan Sepatan, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten, penulis menjumpai penutur Bahasa Betawi.
Di sini, warga dalam dialegnya, tidak menyebut dirinya aye, gue, elu. Tetapi lebih banyak dengan kata-kata guah. Hal serupa juga terjadi di sebagian wilayah Tambun, Bekasi.
"Guah nggak mau nyebrang ke Bulak Kapal. Guah maunya netep di Keranji," kata seorang penutur dialek Betawi di Keranji.
Lucunya, diajak naik mobil ber-AC menolak tetapi bersedia kalau naik mobil dengan bak terbuka.
"Embung ah. Guah sukanya bonceng motor. Biar nggak mabok," kata seorang penutur di Sepatan, Tangerang, Banten.
"Kalau naek mobil AC mabok. Ogah ah!"
Pengguna dialek Betawi kini makin tersisih. Kalaupun ada upaya dari Pemda DKI Jakarta untuk melestarikannya, hal itu tidak cukup menetapkan satu wilayah sebagai kawasan budaya setempat. Sebab, para penuturnya kini makin bergeser ke daerah pinggiran Jakarta, seperti ke Tangerang, Bekasi dan Bogor.
Perpindahan warga ini adalah alamiah yang lebih banyak disebabkan faktor ekonomi.
"Embung pindah, ya digusur paksa. Ogah ngacir, bisa jadi nyari keidupan tambah sulit," cerita si Mamat mengenai cerai-berainya warga Betawi berpidah-pindah ke berbagai wilayah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H