Dari pengamatan sehari-hari Al Fatih memang menemui kesulitan dalam berkomunikasi. Ia lebih nyaman menggunakan bahasa tubuhnya bila mendapat perintah dari sang guru. Memanggut atau menganggukkan atau menggelengkan kepala tanda ia menerima instruksi dari sang pengajar.
Lidah dikerik emas
Bila bicara dengan rekan-rekannya, Al Fatih menggunakan mulut dengan sebutan ah, ih dan uh sambil menggunakan tangannya. Bila tak diindahkan permintaannya, rekan-rekannya dipegang tangannya.
Mencermati semua itu, lalu penulis ingat cerita para orang tua dahulu. Katanya, jika bocah ingin cepat bicara maka perlu lidahnya dikerik dengan sepotong emas. Karena penulis tak punya emas batangan, maka eyang Uti dan Akung pergi ke Antam untuk membeli emas seberat 25 gram.
Kala Al Fatih datang ke Jakarta bersama orang tuanya untuk berlebaran, penulis memanfaatkan untuk mengerok lidahnya dengan emas batangan 25 gram. Hasilnya memang ada perubahan, ia mampu mengeluarkan kata-kata ketika hendak meminta es krim dan permainan kecerdasan. Tapi tak terlihat perubahan yang signifikan.
Eyang Utinya lalu berkomentar, emasnya kurang besar. Mungkin kalau emas batangannya lebih besar, maka Al Fatih bisa bicara lebih bagus. Dan, untuk memenuhi itu, maka sang kakek dan nenek kembali ke Antam untuk membeli emas batangan lebih besar. Pikir penulis, cukuplah 100 gram.
Saat tengah kedua orangtuanya berlibur ke Jakarta, Al Fatih mndapat kesempatan lidahnya dikerik atau dikerok dengan emas batangan lebih besar. Di kamar, penulis dengan diiringi doa kembali mengerik lidah Al Fatih. Ketika diminta untuk membuka mulutnya, Al Fatih menurut. Lidah dikerik, sukses. Usai itu, Eyang Uti dan Akungnya ditertawakan.
Terapi sebagai solusi
Sebulan ditunggu, Al Fatih bicara dengan sedikit kata yang dikuasai. Bulan berikutnya dan berikutnya, Al Fatih hanya begitu-begitu saja bicaranya. Pelit mengeluarkan kata meski sudah bicara. Kuat dugaan, Al Fatih sulit bicara lantaran manja kepada orang tua.
Wah, pikir penulis, kalau begitu jika emas satu kilogram pun disediakan untuk mengerik lidah Al Fatih agar bisa bicara tak akan membuahkan hasil.
Akhirnya, setelah berdiskusi dengan para pengajar di sekolahnya, Â diambi inisiatif bahwa Al Fatih harus menjalani terapi bicara. Penulis melakukan pemantauan dari Jakarta. Sang pengajar didatangkan ke rumah. Apa dan bagaimana terapi itu dilakukan. Awalnya, sang pengajar terapi bicara itu memetakan huruf apa saja yang tidak dikuasai, tidak bisa disebut dan mengapa tidak dapat fokus.