Liga sepakbola memang pantas ditiadakan. Usul ini muncul bukan sekali ini saja. Sayogianya pertandingan sepakbola itu hadir untuk mempersatukan bangsa. Sesuai cita-cita dari olahraga itu sendiri, mempersatukan anak bangsa dalam wadah NKRI.
Kita bangga sepakbola Asian Games berjalan sukses. Kok, Liga sepabola kita menghadirkan permainan di luar lapangan yang tidak beradab. Kejadian tewasnya suporter Persija pada pertandingan dengan Persib Bandung, Minggu (23/09/2018) sungguh membuat prihatin semua pihak.
Orang-orang gila bola (Gibol) terhenyak. Pencinta olahraga seperti dibuat kaget. Terlebih PSSI dengan jajarannya tak henti-henti mengangkat sportivitas dan fair play. Di berbagai kesempatan, sikap adil (jujur) terhadap lawan; sikap bersedia mengakui keunggulan (kekuatan, kebenaran) lawan atau kekalahan (kelemahan, kesalahan) selalu digaungkan agar dihormati. Hasilnya, nihil.
Seperti diwartakan, Haringga yang merupakan anggota The Jak Mania atau pendukung Persija Jakarta meninggal dengan luka mengenaskan karena dikoroyok pendukung Persib Bandung, bobotoh.
Haringga sempat meminta pertolongan kepada seorang tukang bakso, tapi para pengeroyok makin brutal. Hingga akhirnya warga Jakarta Barat itu meninggal, sebagaimana diungkap Kasat Reskrim Polrestabes Bandung AKBP M Yoris Maulana di Jalan Jawa, Kota Bandung, Minggu (23/9/2018).
Para pendahulu dan pendiri PSSI, jika saja mereka masih bisa hadir di zaman now ini tentu akan marah. Mengapa? Ya, karena organisasi sepakbola itu didirikan dengan perjuangan. Ir. Soeratin, sebagai pendiri PSSI pada 1930, kala itu seperti bermain 'kucing-kucingan' dengan penjajah Belanda karena gerakannya dicurigai.
PSSI adalah organisasi olahraga perjuangan sebagai realisasi konkret dari Sumpah Pemuda 1928. Sumpah Pemuda yang merupakan wujud dari nasionalisme itu dikembangkan dalam wadah olahraga. Soeratin melakukan pertemuan dengan tokoh sepak bola pribumi di Solo, Yogyakarta, Magelang, Jakarta, dan Bandung. Pertemuan itu diadakan secara sembunyi untuk menghindari sergapan Intel Belanda (PID).
Sedikit menengok ke belakang, pada 19 April 1930, beberapa tokoh dari berbagai kota berkumpul di Yogyakarta untuk mendirikan PSSI (Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia). Istilah "sepakraga" diganti dengan "sepak bola" dalam Kongres PSSI di Solo pada 1950.
Sejak itu dilakukan kompetisi secara rutin yang kemudian melahirkan pemain-pemain terkenal. Antara lain: Ramang, Maulwi Saelan, Drg. Endang Witarsa alias Lim Sun Yu atau Liem Soen Joe, Kwee Kiat Sek, Achad Arifin, Tan Liong Houw dan masih banyak lagi yang mengharumkan nama bangsa di event inernasional.
Nah, kembali kepada kasus meninggalnya suporter sepakbola di tanah air ini. Menurut penulis, sudah sepantasnya para pemangku kepentingan olahraga memikirkan dan mencari jalan keluar untuk menghindari anak negeri dari kematian konyol.
Sungguh tepat terkait dengan meninggal dunianya Haringga Sirla, Â Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI) mengimbau PSSI untuk menghentikan sementara kompetisi sepak bola di Indonesia, termasuk Liga 1 dan Liga 2. Â Apa lagi sempat beredar pemberitaan di media adanya sweeping kendaraan berpelat D di Jakarta. Seperti diketahui, kendaraan dengan nomor polisi berawalan D berasal dari wilayah Bandung.
Kabar tersebut pun disertai dengan gambar beberapa orang yang diduga adalah suporter Persija sedang berkumpul di tengah jalan. Penulis pun mendapat berita melalui WAG yang belakangan baru diketahui bahwa berita tersebut hoax.
Lalu, apakah imbauan BOPI itu diindahkan. Belum tentu. Alasannya, karena sebuah kompetisi di negeri ini selain sudah direncanakan lama juga menyangkut kontrak atau perjanjian dengan para sponsor. Ini juga menjadi pertimbangan. Namun eloknya menurut penulis sudah sepantasnya imbauan itu diindahkan.
Sebab, para gibol pasti tahu bahwa perilaku superter yang nakal. Gemar merusak. Di negeri seberang sana, mereka itu lebih populer dan dikenal sebagai hooligan, yaitu geng yang dibentuk bertujuan menyerang pendukung klub lain.
Oom Wikipedia menyebut sebagai perilaku ini sering didasarkan pada persaingan antara tim yang berbeda dan konflik dapat terjadi sebelum atau setelah pertandingan sepak bola. Peserta sering memilih lokasi jauh dari stadion untuk menghindari penangkapan oleh polisi, tetapi konflik juga bisa meletus secara spontan di dalam stadion atau di jalan-jalan sekitarnya.
Untuk mencegahnya, diperlukan sebuah keberanian antara lain menghentikan kompetisi Liga itu sendiri. Upaya lainnya adalah: melarang para superter dari kedua tim yang selalu berkelahi itu untuk menyaksikan setiap pertandingan, termasuk dilarang mendekati stadion.
Tindakan awal bolehlah dilakukan secara persuasif. Misalnya, penitia pelaksana menyediakan layar lebar agar para pendukungnya menyaksikan di luar stadion. Kalau mereka masih berulah juga, dapat ditangkap. Jika hal itu masih ada kejadian buruk, maka polisi dan pemangku kepentingan organisasi sepakbola (PSSI) membuat aturan dalam bentuk Undang Undang.
Ini adalah langkah tegas agar hak penonton tak terganggu. Tujuannya, agar kenyamanan menyaksikan sajian sepakbola bermutu dapat terwujud.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H