Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Gelar Keagamaan Bukan Mainan Politik

21 September 2018   07:53 Diperbarui: 21 September 2018   15:56 2326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sulthon (memegang mikrofon), salah seorang penggemar motor besar (Moge) di Bandung, tengah berceramah menyambut 10 Muharam 1440 H. Ia menolak dipanggil ustaz meski memiliki kemampuan berceramah agama. Foto | Dokpri.

Siapa pun dia, apakah pakai songkok atau tidak, berbaju perlente atau seadanya, bawa mobil atau motor, akan dipanggil haji meskipun bermata sipit seperti penulis. Bagi para ibu, sudah berhaji atau tidak, akan dipanggil hajah.

Kala keluar toilet, parkir kendaraan dan masuk uang kerja akan diberi hormat sambil menyebut pak haji atau ibu hajah. Sepertinya sebutan itu demikian akrab, dan bila tak sebut gelar tersebut sepertinya khawatir menimbulkan dosa.

Padahal orang-orang yang dipanggil tersebut beragama katolik, kristen, hindu, buddha atau khong hucu. Semua pukul rata, panggil dengan gelar haji atau hajah. Kecuali jika memang yang bersangkutan sudah dikenal seperti pejabat, setingkat dirjen atau kepala biro. Orang yang dikenal itu, bolelah dipanggil pak atau bapak sambil membungkukan badan.

Sebutan atau panggilan haji atau hajah secara merata itu sering penulis temui. Anggota satuan pengaman atau Satpam di Gedung Kementerian Agama (Kemenag) , termasuk petugas kebersihan, selalu memanggil pegawai aparatur sipil negara (ASN) setempat dengan sebutan haji (pria) atau hajah bagi para perempuannya.

Antarpegawai juga memanggil rekannya dengan ji atau haji. Tidak menyebut nama orang, meski kadang dijumpai orang bersangkutan belum pernah umrah atau berhaji.

Di gedung Kemenag lainnya, Jalan Thamrin dan Gedung Irjen Kemenag Cipete dan daerah tidak semarak panggilan haji dan hajiah di Gedung Kemenag Jalan Lapangan Banteng. Jadi, bila ada orang mabuk gelar haji sementara dirinya sudah berhaji tapi tak pernah dipanggil haji, bolehlah datang ke gedung itu.

Pada peristiwa keagamaan, di Kemenag banyak ASN tak mengenakan songkok. Apa lagi sorban, meski di jajaran kementerian itu banyak di antaranya memiliki   kompetensi mumpuni di bidang agama. Ahli hadis juga banyak. Da'inya pun bejibun mulai dari tingkat kantor urusan agama atau KUA hingga perguruan tinggi negeri agama Islam.

Meski begitu, Kemenag tidak pernah membuat regulasi tentang gelar haji, kiai hingga ulama. Termasuk ustaz yang banyak memberi pencerahan di layar kaca, masjid dan tampil memberi tausiyah tatkala perayaan hari besar Islam.

Para ASN di kementerian itu tidak pernah meminta atau berharap diberi gelar-gelar keagamaan seperti ustaz, kiai hingga ulama meski memiliki keahlian di bidang agama. Malah merasa 'malu' diberi gelar lantaran berbagai hal. Antara lain, disebabkan nama kementerian itu jadi terpuruk di masa lalu menteri-menterinya, termasuk yang berasal dari partai, meninggalkan jejak buruk. Carilah?

Kalaulah ASN diberi sebutan haji atau hajiah oleh para anggota Satpam, atau petugas kebesihan, lantaran memang mereka sudah menunaikan ibadah haji. Setidaknya menjadi petugas haji dari kalangan Direktorat Penyelenggara Ibadah Haji dan Umrah (Ditjen PHU).

Pernah mengemuka para petinggi di kementerian itu melontarkan wacana bahwa penceramah harus ikut program sertifikasi, seperti halnya guru. Itu dimaksudkan agar kompetensi ustaz semakin jelas kualitas dan kemampuan pemahamannya terhadap hadis dan Alquran. Ia harus paham tentang Pancasila sehingga ketika berceramah tidak membenturkannya dengan hukum positif. Toh, reaksi yang muncul adalah penolakan mentah-mentah.

Sungguh mengejutkan pada tahun politik ini identitas bagi seorang muslim, seperti ulama, dapat ditempelkan kepada seseorang begitu saja. Tanpa bak bik buk, bagai mimpi di siang bolong tiba-tiba elite politik menobatkan Sandiaga Uno adalah seorang ulama.

Adalah Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Hidayat Nur Wahid menyebut bakal calon wakil presiden Sandiaga Uno sebagai ulama. Pemberian gelar keagamaan itu beranjak dari  terminologi bahasa Arab. Ulama dimaknai memiliki keahlian khusus seperti yang dimiliki Sandiaga Uno.

Mengangkat asal-usul ulama dengan terminologi itu, bolehlah sedikit  maklum. Sebab, Wakil Ketua MPR itu berlatar-belakang pendidikan dari salah satu universitas di Madinah.

Tentu saja pemberian gelar, meski itu bukan gelar akademik, karena disandangkan kepada seseorang -- pada tahun politik -- dapat memunculkan pendapat 'udang di balik batu'. Dan, sungguh wajar  memunculkan reaksi. Seolah nalar publik diajak sesat, terlebih disebutnya julukan ulama selama ini salah kaprah bila hanya dikaitkan dengan pemuka agama. Sebutan ulama juga bisa dipakai untuk memanggil orang-orang yang ahli. Ahli mesin, listrik, ekonomi, industri, misalnya.

Ia mengangkat argumentasi sambil menyebut dalil seperti itu dapat dimaknai menggiring nalar anak bangsa sebagai pembodohan. Orang bijak mengatakan, lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Tiap negeri atau bangsa berlainan adat kebiasaannya. Termasuk dalam pemberian gelar keagamaan.

Jika elite politik PKS itu menggunakan terminologi dari kaca mata orang Arab, anak bangsa negeri ini tentu berbeda.

Lagi pula orang Arab yang punya keahlian khusus pun tak pernah menuntut pemberian gelar keagamaan seperti haji atau hajiah. Apa lagi ulamanya. Lalu, mengapa ujug-ujung gelar ulama dikaitkan dengan keahlian lain di luar bidang keagamaan. 

Dan benar, orang paling keras yang mematahkan argumentasi itu juga berasal dari partai yang sama, Fahri Hamzah.

Sandi bukan ulama. Ulama itu harus ahli agama, hafal hadis dan Alquran. Kalau parameternya ahli dagang, bisnis, tentu saja sangat tidak relevan ia diberi gelar ulama. Ulama itu, dalam kesehariannya, banyak bersinggungan dengan umat. Seperti memberi tausiyah, bahkan membagi ilmu agama di berbagai kesempatan.

Mencermati gelar keagamaan, di tahun politik, terasa menjadi kebutuhan bagi elite politik. Sebutan mengaku santri, misalnya, yang berasal dari alumni pondok pesantren (ponpes) tertentu dapat dijadikan alat jualan diri. Tepatnya, sebagai komoditas politik. Padahal yang bersangkutan hanya tinggal di ponpes sebulan, tak tahan berlama-lama karena disiplinnya tinggi dan harus menghafal Alquran dan haditz.

Kita pun ingat, para ulama, kiai dan ustaz memajukan ponpes tak pernah berfikir dapat imbalan materi. Itu siapa pun tahu. Bahwa hingga kini masih ada ponpes kehidupannya bagai hidup segan mati tak mau lantaran kekurangan dana.

Dulu, ponpes dipandang sebelah mata. Apalagi 90 persen ponpes berstatus swasta. Hidupnya tergantung ulama atau kiai yang mengasuh pondoknya. Di tahun politik, penpos banyak didatangi politisi untuk meminta restu. Tapi itu tidak menjamin para santri yang menuntut ilmu dapat menikmati 'kue' untuk memenuhi kebutuhan pendidikannya.

Lantas, apakah sampai hati ulama yang kita hormati gelarnya dapat diobral seperti pedagang kaki lima. Jangan nodai ulama karena gelar keagamaan bukanlah mainan politik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun