Sungguh mengejutkan pada tahun politik ini identitas bagi seorang muslim, seperti ulama, dapat ditempelkan kepada seseorang begitu saja. Tanpa bak bik buk, bagai mimpi di siang bolong tiba-tiba elite politik menobatkan Sandiaga Uno adalah seorang ulama.
Adalah Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Hidayat Nur Wahid menyebut bakal calon wakil presiden Sandiaga Uno sebagai ulama. Pemberian gelar keagamaan itu beranjak dari  terminologi bahasa Arab. Ulama dimaknai memiliki keahlian khusus seperti yang dimiliki Sandiaga Uno.
Mengangkat asal-usul ulama dengan terminologi itu, bolehlah sedikit  maklum. Sebab, Wakil Ketua MPR itu berlatar-belakang pendidikan dari salah satu universitas di Madinah.
Tentu saja pemberian gelar, meski itu bukan gelar akademik, karena disandangkan kepada seseorang -- pada tahun politik -- dapat memunculkan pendapat 'udang di balik batu'. Dan, sungguh wajar  memunculkan reaksi. Seolah nalar publik diajak sesat, terlebih disebutnya julukan ulama selama ini salah kaprah bila hanya dikaitkan dengan pemuka agama. Sebutan ulama juga bisa dipakai untuk memanggil orang-orang yang ahli. Ahli mesin, listrik, ekonomi, industri, misalnya.
Ia mengangkat argumentasi sambil menyebut dalil seperti itu dapat dimaknai menggiring nalar anak bangsa sebagai pembodohan. Orang bijak mengatakan, lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Tiap negeri atau bangsa berlainan adat kebiasaannya. Termasuk dalam pemberian gelar keagamaan.
Jika elite politik PKS itu menggunakan terminologi dari kaca mata orang Arab, anak bangsa negeri ini tentu berbeda.
Lagi pula orang Arab yang punya keahlian khusus pun tak pernah menuntut pemberian gelar keagamaan seperti haji atau hajiah. Apa lagi ulamanya. Lalu, mengapa ujug-ujung gelar ulama dikaitkan dengan keahlian lain di luar bidang keagamaan.Â
Dan benar, orang paling keras yang mematahkan argumentasi itu juga berasal dari partai yang sama, Fahri Hamzah.
Sandi bukan ulama. Ulama itu harus ahli agama, hafal hadis dan Alquran. Kalau parameternya ahli dagang, bisnis, tentu saja sangat tidak relevan ia diberi gelar ulama. Ulama itu, dalam kesehariannya, banyak bersinggungan dengan umat. Seperti memberi tausiyah, bahkan membagi ilmu agama di berbagai kesempatan.
Mencermati gelar keagamaan, di tahun politik, terasa menjadi kebutuhan bagi elite politik. Sebutan mengaku santri, misalnya, yang berasal dari alumni pondok pesantren (ponpes) tertentu dapat dijadikan alat jualan diri. Tepatnya, sebagai komoditas politik. Padahal yang bersangkutan hanya tinggal di ponpes sebulan, tak tahan berlama-lama karena disiplinnya tinggi dan harus menghafal Alquran dan haditz.
Kita pun ingat, para ulama, kiai dan ustaz memajukan ponpes tak pernah berfikir dapat imbalan materi. Itu siapa pun tahu. Bahwa hingga kini masih ada ponpes kehidupannya bagai hidup segan mati tak mau lantaran kekurangan dana.