Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Suara "Emas" di Akar Rumput

19 September 2018   04:27 Diperbarui: 20 September 2018   03:57 1922
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penyanyi dangdut di pasar tradional. Foto | Dokpri

Jangan pandang sebelah mata kemampuan para penyanyi di sejumlah pinggir jalan. Atau para pengamen di dalam bus. Betul, kadang kita jumpai di dalam bus (metro mini) ada pengamen asal-asalan bernyanyi. 

Suaranya pun membuat telinga sakit. Usai bernyanyi, dengan bungkus rokok, ia meminta uang recehan yang bila tidak diberi oleh penumpang lalu berceloteh dengan kata-kata 'kotor' dan menjengkelkan.

Meski begitu, jika kita sabar sedikit dan meluangkan waktu, bolehlah menyaksikan kemampuan para pengamen bernyanyi di pinggir jalan.

Banyak yang bersuara 'emas'. Di Jakarta, sekarang ini, pengamen mulai sulit dijumpai. Maklum, biasanya mereka kumpul di beberapa titik lampu merah, persimpangan jalan raya dan bermain 'kucing-kucingan' dengan petugas Dinas Sosial.

Penyanyi dan pemusik tradisional. Foto | Dokpri
Penyanyi dan pemusik tradisional. Foto | Dokpri
Pemusik tradisional Jawa. Foto | Dokpri
Pemusik tradisional Jawa. Foto | Dokpri
Asyik sih rasanya menyaksikan tingkah laku para pengamen ketika bernyanyi. Namun, jangan lupa sebelum turun ke 'akar rumput' menjumpai mereka di sejumlah terminal (Kampung Rambutan, Gerolo, Kalideres dan terminal lainnya) sediakan uang recehan. Ini penting, jangan sampai ingin menikmati lagu yang dibawakan tetapi anda tak punya pengertian.

"Jangan medit, kikir atau pelit dengan pengamen," kata seorang pengamen kepada penulis.

Pengamen yang tak mau disebut namanya itu ketika dijumpai di salah satu terminal mengatakan, sejatinya pekerjaan mengamen itu menyenangkan. Tetapi penumpang bus dan warga yang dijumpai memperlihatkan wajah tak senang ketika didatangi.

Coba saksikan di kawasan kuliner pinggir jalan. Mereka sedang asyik makan dan mengaku terganggu ketika menikmati soto Betawi atau makanan lainnya. 

Padahal, jika ditanyai lebih jauh banyak di antara penggemar wisata kuliner merasa senang kala menyantap makanan diiringi musik.

Musiknya memang sederhana. Bisa gitar dengan gendang, plus biola. Ada juga gitar dengan dukungan peralatan musik lainnya.

Pokoknya, enak dinikmati. Enak didengar di telinga. Apa lagi om-om dan tante-tante, ketika dibawakan lagi nostalgia, mukanya terlihat berseri-seri.

"Orang Betawi bilang, muke om dan tante jadi semringah," ujarnya.

**

Ketika bepergian keluar kota, penulis meluangkan waktu mengamati fenomena pengamen. Mulai pengamen tradisonal, pop, dangdut dan lagu daerah. Bahkan pengamen multi talenta, mampu membawakan lagu pop, dangdut, lagu daerah hingga Barat tak luput dari pengamatan.

Di Yogyakarta, anda dapat saksikan setiap malam banyak pengamen menghibur penggemar kuliner di tepi jalan. 

Sungguh, kita seolah terbawa dalam suasana riang. Makan malam, dengan gudeg, makin terasa nikmat. Tak terasa, nasi di bakul minta ditambah.

Pemusik dan penyanyi di terminal busway. Foto | Dokpri
Pemusik dan penyanyi di terminal busway. Foto | Dokpri
Pengamen mendatangi rumah warga. Foto | Dokpri
Pengamen mendatangi rumah warga. Foto | Dokpri
Musik adalah bahasa universal. Semua orang menyukai. Melalui musik, insan di jagad raya ini dapat saling berkomunikasi. 

Dengan musik pula pesan moral dapat disampaikan. Pesan perjuangan bisa disebarluaskan dan pesan pemberantasan narkoba --bahkan memerangi korupsi pun-- bisa melalui musik.

Boleh jadi pengamen hadir di Jalan Malioboro itu sudah puluhan tahun  dengan segala pesan moralnya. Boleh jadi pula di antara pengamen itu sudah ada di antaranya menjadi penyanyi kondang. Hanya saja penulis tak tahu. Tapi yang jelas, memang lagu-lagu yang dibawakan sungguh menghibur.

Masih di Yogyakarta. Belum lama ini penulis menjumpai seorang pengamen wanita - multi talenta - bernyanyi dengan gitarnya. Ia dibantu dua musisi pria di belakangnya. Pengamen yang hadir di rumah makan gudeg, Bulaksumur itu, mampu memikat pengunjung hingga ikut berjoget. Kala diminta untuk membawakan lagu daerah (Batak dll), ia pun mahir. Demikian juga beberapa lagu Barat.

Penyanyi kagetan di acara Ultah. Foto | Dokpri
Penyanyi kagetan di acara Ultah. Foto | Dokpri
Musik dan penyanyi di airport Soekarno - Hatta. Foto | Dokpri
Musik dan penyanyi di airport Soekarno - Hatta. Foto | Dokpri
Wuih, keren, meski yang bernyanyi tampil dengan pakaian sederhana dan rambut dikuncir. Jika saja ada penyanyi beken tampil di rumah makan itu, penilaian penulis, akan 'keok' bila diadu.

Di kawasan Cipayung, Jakarta Timur, penulis menjumpai anak-anak muda mengmen. Mereka tak malu-malu mendatangi rumah-rumah penduduk. Mereka mendapat sambutan meski uang yang didapat tentu tidak terlalu menggembirakan. Tapi, bisalah untuk makan bersama di siang hari.

Di Kalimantan Utara, tepatnya di Museum Mulawarman Kutai Kartanegara, ada pemusik tradisional,  Lam Him (60 tahun). Ia memiliki kekurangan pada indra penglihatannya. Meski tuna netra, ia tetap setia memainkan musik tradisional Dayak dengan lagu-lagu daerah. Sayang, kemampuannya kurang mendapat perhatian.

Penyanyi dangdut di pasar tradional. Foto | Dokpri
Penyanyi dangdut di pasar tradional. Foto | Dokpri
Penyanyi cabutan di pesta pernikahan. Foto | Dokpri
Penyanyi cabutan di pesta pernikahan. Foto | Dokpri
Tahun lalu, tepatnya  Senin pagi (27/3/2017), penulis beruntung menyaksikan pemusik tampil di Harmoni Central Basway (HCB). Entah sejak kapan manajemen TransJakarta menggelar panggung musik di sentral bus way Harmoni. 

Dua pemuda dan seorang penyanyi wanita cantik terlihat asyik memawa lagu-lagu pop. Ketiga orang pemusik ini tentu saja menarik perhatian para pengguna bus way.

Wah, hebat. Terlihat pengguna transjakarta merasa terhibur.

Bagaimana dengan penyanyi "kagetan", yaitu om-om dan tante-tante yang biasa bernyanyi di karaoke. Menurut penulis, umumnya tidak terlalu bagus juga tidak terlalu jelek. 

Berbeda dengan di kota Ambon, misalnya, penulis menjumpai banyak penyanyi bersuara emas. Sejajar suaranya dengan penyanyi di Jakarta yang sering tampil di layar kaca dengan pakaian serba "wah".

Sayangnya, penyanyi berbakat itu tak mendapat perhatian. Potensinya terkubur. Sementara penyanyi yang sudah memiliki nama makin bergaya yang tanpa sadar suaranya pun mulai parau, digerogoti usia. 

Boleh jadi jika dipaksakan bernyanyi terus, beberapa tahun ke depan suaranya mengalami degradasi. Bisa jadi pula suara kodok lebih bagus di musim penghujan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun