Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Suara "Emas" di Akar Rumput

19 September 2018   04:27 Diperbarui: 20 September 2018   03:57 1922
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penyanyi dangdut di pasar tradional. Foto | Dokpri

Di Kalimantan Utara, tepatnya di Museum Mulawarman Kutai Kartanegara, ada pemusik tradisional,  Lam Him (60 tahun). Ia memiliki kekurangan pada indra penglihatannya. Meski tuna netra, ia tetap setia memainkan musik tradisional Dayak dengan lagu-lagu daerah. Sayang, kemampuannya kurang mendapat perhatian.

Penyanyi dangdut di pasar tradional. Foto | Dokpri
Penyanyi dangdut di pasar tradional. Foto | Dokpri
Penyanyi cabutan di pesta pernikahan. Foto | Dokpri
Penyanyi cabutan di pesta pernikahan. Foto | Dokpri
Tahun lalu, tepatnya  Senin pagi (27/3/2017), penulis beruntung menyaksikan pemusik tampil di Harmoni Central Basway (HCB). Entah sejak kapan manajemen TransJakarta menggelar panggung musik di sentral bus way Harmoni. 

Dua pemuda dan seorang penyanyi wanita cantik terlihat asyik memawa lagu-lagu pop. Ketiga orang pemusik ini tentu saja menarik perhatian para pengguna bus way.

Wah, hebat. Terlihat pengguna transjakarta merasa terhibur.

Bagaimana dengan penyanyi "kagetan", yaitu om-om dan tante-tante yang biasa bernyanyi di karaoke. Menurut penulis, umumnya tidak terlalu bagus juga tidak terlalu jelek. 

Berbeda dengan di kota Ambon, misalnya, penulis menjumpai banyak penyanyi bersuara emas. Sejajar suaranya dengan penyanyi di Jakarta yang sering tampil di layar kaca dengan pakaian serba "wah".

Sayangnya, penyanyi berbakat itu tak mendapat perhatian. Potensinya terkubur. Sementara penyanyi yang sudah memiliki nama makin bergaya yang tanpa sadar suaranya pun mulai parau, digerogoti usia. 

Boleh jadi jika dipaksakan bernyanyi terus, beberapa tahun ke depan suaranya mengalami degradasi. Bisa jadi pula suara kodok lebih bagus di musim penghujan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun