Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Orang (-Orang) Sakit Jiwa

7 September 2018   21:44 Diperbarui: 7 September 2018   22:40 639
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sayangnya upaya KPU itu belum mendapat dukungan. Partai-partai lebih suka menyikapi dengan berdiam diri. Bahkan mencantumkan mantan napi korupsi sebagai calon legislatif. Tentu saja menjadikan keadaan makin runyam.

Bawaslu memberi restu. Alasannya, perundang-undangan memberi peluang mantan napi koruptor ikut sebagai bakal calon legislatif. Bawaslu berpegang pada aturan yang berlaku dan tentu saja hal itu diamini para koruptor.

Jika saja negeri ini disesaki elite politik busuk - yang kerap berlindung pada hak-hak asasi yang mereka miliki - bisa jadi uang rakyat habis jadi bancakan. Sudah sering rakyat mendengar korupsi berjamaah di lembaga legislatif. Gubernur, menteri, anggota dewan hingga lurah ikut masuk bui lantaran terlalu rakusnya dengan uang rakyat.

Jadi, Surat Keterangan Kesehatan Jiwa (SKKJ) yang dikeluarkan sebuah rumah sakit jiwa bagi para bakal calon legislatif akhirnya berujung hambar. Tak bermakna lagi. Karena itu, bagi yang waras, jangan terperangkap dengan tampilan elite politik yang menawan di hadapan publik. Ternyata, lempar senyum kiri-kanan untuk semata menutupi gelisah hati dari Cahaya Ilahi.

**

Sejatinya mencuatnya penyakit jiwa, orang-orang gila, tidak waras berawal dari rusaknya hati. Penyakit jiwa berawal dari rusaknya hati lantaran tidak pernah mendapat asupan 'vitamin' berupa Cahaya Ilahi.

Di sebagian umat Muslim sering kita dengar, manusia ketika menginjak usia 40 tahun ke atas sangat berat menerima nasihat, berat menerima siraman rohani, sulit diajak berjalan lurus sesuai tuntunan Ilahi. Bahkan tidak memiliki sikap bersahabat dengan pemangku agama. Dan, orang macam itu terlalu sering marah ketika ditegur kala diingatkan. Bukan menyampaikan rasa syukur, tapi menunjukan dirinya paling benar.

Pengalaman penulis menghadapi orang sakit jiwa seperti paranoid, adalah di antaranya sering menunjukan sikap curiga berlebihan kepada lawan bicaranya. Kala dibenarkan pendapatnya, ia malah mengajak adu argumentasi. Ia pun menunjukan dirinya paling benar dan bersikap tidak hormat kepada lawan bicara sekalipun itu orang tuanya sendiri. Pendek kata, orang macam ini seperti anti-sosial. Orang macam ini, makin tinggi pendidikan akademiknya makin keras hati.

Penulis jadi ingat kisah Lukman dan putranya dengan seekor keledai. Ketika putra Lukman naik keledai dan Lukman menuntun keledai, orang sekitar berkomentar. Lihat, anak tak menaruh hormat. Orang tua menuntun keledai, anak enak-enakan duduk di atas keledai.

Lalu, anak dan bapak itu mengubah posisi setelah sama-sama mendengar celotah orang di tepi jalan. Lukman naik keledainya. Sedang putranya menuntun keledai. Lantas, komantar orang yang melihat tetap saja bernada miring. Katanya, orang tua tidak punya perasaan. Anak disuruh menuntun keledai sedang orang tua nyaman di atas keledai.

Mendengar celoteh itu, lalu Lukman dan anaknya bersepakat, mereka naik keledai bersama-sama. Lalu, apa lagi komentar orang terhadap Lukman dan putranya itu?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun