Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Nabi Saja Tak Sabar, Kalau Kita Bagaimana?

31 Agustus 2018   08:18 Diperbarui: 31 Agustus 2018   13:23 601
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagian masyarakat kita beranggapan bahwa sabar itu ada batasnya. Alasannya, ketika seseorang diberi tahu tentang kesalahannya berualang kali dan tetap melakukan kesalahan serupa, maka orang yang memberi tahu tadi hilang kesabarannya dan menjadi marah. Kejadian itu, bagi pemberi nasihat, dimaknai kesabaran yang berbatas.

Pihak lain menyebut, sabar itu tidak berbatas. Bisa pula tak berujung. Kenali diri sendiri, karena kesabaran itu sudah ada pada diri manusia sampai akhir hayat.

Seorang anak sejak kecil hingga dewasa sudah akrab dengan nasihat orang tuanya. Bahkan orang tuanya dianggapnya paling cerewet. Saking sering dapat nasihat, anak kemudian menjadi penyabar dengan menganggapnya sebagai angin lalu. Atau ibunya dianggap sebagai radio rusak.

Kala kita masih kecil, orang tuanya selalu menasihati kala hendak berangkat ke sekolah. Namun di perjalanan ada saja halangan sehingga bila diingat kita telah melanggar nasihatnya.

Halangan itu bisa berupa beli jajanan sembarangan dalam perjalanan, berhenti karena ada penjual ikan cupang dalam plastik, dan ikut teman naik sepeda berkeliling ke tempat lain. Jadi, ada saja peristiwa bagi sang bocah yang melanggar nasihat. Karenannya, orang tua dituntut untuk sabar. Ini disebut sabar yang tak pernah berujung. Bahkan sabar berlangsng hingga menutup mata.

Mengapa sabar harus sampai menutup mata?

Ya, karena setiap orang tua tak pernah lepas perhatiannya kepada anak-anaknya. Kepada saudara tercinta, kepada lingkungan hingga masyarakat yang menjadi bagian dari dirinya. Setiap orang dituntut untuk peduli kepada masyarakat sekitarnya. Kata orang bijak, manusia itu adalah kumpulan mahluk sosial.

Karena itu, jika ada kejadian dan menyedot perhatian yang tidak menyenangkan dibutuhkan kesabaran. Kesabaran dalam menyikapi dan proses penanganannya.

Sungguh sabar itu mudah diucapkan. Untuk mempraktekannya kala mendapat cobaan, wuih beratnya bukan main. Tidak semudah membalikan sebelah telapak tangan dalam sekejap untuk mengatasinya. Butuh waktu dan kekuatan hati, mulut dan tindakan harus selaras sehingga tidak menimbulkan persoalan baru.  

Kata orang, - kala menghadapi persoalan berat - , hati boleh panas tetapi kepala harus tetap dingin. Tetapi menurut penulis, baik hati dan kepala semua harus dingin. Karenanya, kala menghadapi persoalan berat penting mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, Allah. Untuk lebih dekat tentu badan harus suci. Caranya, sering berwudhu.

Penulis sebut sabar mudah diucap dan berat dipraktikan, karena Nabi Musa As saja tidak mampu menghadapi dirinya untuk bersabar. Kisah Nabi Musa kala hendak belajar dengan Nabi Khidir As adalah gambaran jelas betapa Musa As tidak mampu menjadi orang sabar.

"Bolehkah, aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku (ilmu yang benar) yang telah diajarkan kepadamu (untuk menjadi) petunjuk?" Musa bertanya kepada Khidir.

"Sungguh, engkau tidak akan sanggup sabar bersamaku".

Musa AS berkali-kali melanggar kesepakatan untuk tidak menanyakan kepada Khidir As berbagai peristiwa sampai akhirnya Khidir menegurnya. Lalu, Musa As berjanji pada dirinya, "Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu ini, maka janganlah engkau memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya engkau sudah cukup (bersabar) menerima alasan dariku".

Musa As ingkar janji. Ia melakukan pelanggaran di antaranya menanyakan kepada Khidir mengapa merusak perahu yang ditumapanginya, menanyakan mengapa membunuh pemuda yang dijumpai, dan mendirikan rumah roboh. Hingga akhirnya kedua nabi berpisah dengan didahului penjelasan seperti yang tertuang dalam Alquran pada Surat Al Kahfi Ayat 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, dan 74.

Poin penting dari kisah Nabi Khidir ini adalah cerminan bahwa seorang nabi saja tak mampu mengendalikan diri untuk bersabar. Nabi juga seorang manusia, sama seperti kita yang hidup di tengah masyarakat dengan segala dinamikanya, keberagamannya dan kebutuhan hidup yang berbeda-beda. Tentu, hidup dalam kesabaran menjadi begitu penting.

Untuk menguatkan rasa sabar, bagi kita, tidak ada cara lain untuk terus menerus memohon kepada Allah untuk tetap bersabar dalam menghadapi berbagai persoalan dan rintangan hidup.

Kata orang alim, jadikan sabar dan shalat sebagai penolong diri kita. Dialah yang menggenggam kekuasaan alam semesta dan seluruh isinya. Maka, kita patut tunduk kepada-Nya. Sungguh, Allah itu beserta orang-orang yang sabar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun